PADANG, HANTARAN.Co —Harapan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) untuk segera melihat Jalan Layang (Flyover) Sitinjau Lauik berdiri kokoh di antara tebing curam dan lembah ekstrem di jalur Padang–Solok masih terkendala persoalan perizinan dan pembebasan lahan yang berstatus kawasan hutan lindung tersebut.
Upaya untuk menuntaskan persoalan yang menghambat megaproyek senilai Rp2,8 triliun dan telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) itu mencuat dalam agenda kunjungan Deputi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko Infraswil), Muhammad Rachmat Kaimuddin di kawasan Sitinjau Lauik, Senin (27/10/25).
Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah mengakui penuntasan administrasi dan perizinan lahan belum selesai sesuai target yang ditetapkan sebelumnya. Semula, dokumen perizinan diharapkan tuntas pada awal Oktober 2025, namun hingga kini masih dalam proses harmonisasi antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Untuk pembebasan lahan, kami awasi terus. Dukungan masyarakat, camat, lurah, dan wali nagari sangat luar biasa. Namun, data-data perizinan masih kami sesuaikan dengan persyaratan ATR/BPN. Semoga dalam waktu dekat segera tuntas,” ujar Mahyeldi di selasela peninjauan lapangan. Pemprov Sumbar saat ini telah telah berkoordinasi langsung dengan Wakil Menteri ATR/BPN guna menjelaskan kondisi di lapangan. Langkah ini diambil untuk mempercepat validasi administrasi lahan yang dinilai cukup kompleks, karena sebagian area proyek berada di kawasan hutan lindung.
“Memang penuntasan perizinan lahan ini sedikit terlambat dari target sebelumnya, tapi kami optimistis dengan dukungan penuh dari ATR/BPN, prosesnya bisa segera rampung,” kata Mahyeldi.
Sementara itu, Deputi Infrastruktur Dasar Kemenko Infraswil, Muhammad Rachmat Kaimuddin menyampaikan bahwa pihaknya terus mengawal proyek tersebut bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah (pemda), serta tokoh masyarakat dan adat di sekitar kawasan Sitinjau Lauik.
“Guna percepatan pembangunan, kami terus berkoordinasi dengan BPN, tokoh adat, masyarakat, serta pemda. Namun, memang masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, khususnya dalam hal perizinan lahan,” ujar Rachmat.
Ia menekankan, kejelasan status lahan menjadi kunci agar Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dapat segera mengakses area konstruksi dan memulai pekerjaan fisik. “Kami harap perizinan ini segera tuntas agar teman-teman PU bisa bekerja di lapangan tanpa hambatan,” katanya.
Diketahui, proyek pembangunan Flyover Sitinjau Lauik dibangun melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan total investasi mencapai Rp2,8 triliun, ditambah biaya operasional dan pemeliharaan sebesar Rp562 miliar. Untuk merampungkan pembangunan infrastruktur jalan strategis viral ini, dibutuhkan lahan seluas 18,7 hektare. Namun kendala dilapangan, sekitar 8,6 hektar di antaranya berstatus hutan lindung. Sementara dari sisi teknis, pekerjaan fisik meliputi pembangunan jalan sepanjang 2,8 kilometer yang terdiri atas tiga jembatan utama.
Ketiga jembatan itu dengan rincian, jembatan 1 sepanjang ±152 meter, jembatan 2 sepanjang ±120 meter, dan jembatan 3 sepanjang ±100 meter. Jalan layang ini diharapkan mampu mengatasi tantangan geografis ekstrem di jalur nasional Padang–Solok yang selama ini dikenal sebagai salah satu lintasan paling berbahaya di
Sumbar. Meski mendapat dukungan luas dari masyarakat dan pemerintah nagari di kawasan tersebut, namun masalah administratif dan teknis masih menjadi batu sandungan. Status sebagian lahan yang masuk wilayah kehutanan memerlukan penyesuaian izin lintas instansi, termasuk rekomendasi teknis dari Kementerian
Kehutanan (Kemenhut).
Mahyeldi menyebut, dukungan publik menjadi modal utama agar pembangunan tidak kehilangan momentum. “Kami terus menjaga semangat masyarakat tetap positif. Semua ingin proyek ini segera jalan karena manfaatnya besar bagi ekonomi dan keselamatan pengguna jalan,” ujarnya
Ia mengatakan, Flyover Sitinjau Lauik tidak hanya dirancang untuk mengurangi risiko kecelakaan akibat tikungan dan tanjakan ekstrem, tetapi juga sebagai jalur strategis untuk memperlancar arus logistik antara Kota Padang, Kabupaten Solok, hingga ke provinsi tetangga seperti Jambi dan Bengkulu.
Keberadaan infrastruktur ini akan memangkas waktu tempuh dan biaya distribusi hasil bumi dari daerah penghasil ke pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera. Dalam jangka panjang, proyek ini diharapkan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi kawasan tengah dan selatan Sumatera Barat. Peninjauan di Sitinjau Lauik juga dihadiri oleh sejumlah pejabat penting, di antaranya Kepala Balai BPJN Sumbar, Elsa Putra Friandi; Plt. Kepala Dinas BMKTCR Sumbar, Dedi Rinaldi; Kepala Dinas Perkimtan Sumbar, Ahdiarsyah; serta Kabiro Adpim Setdaprov Sumbar, Ria Wijayanti. (h/fzi)






