Padang,hantaran.Co–Lambatnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di sejumlah daerah menjadi sorotan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa. Daerah dinilai tidak bekerja dan membiarkan dana tersebut “manganggur” di bank.
Namun, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan justru menilai lambatnya realisasi anggaran daerah disebabkan banyak faktor, mulai dari faktor struktural, administratif, hingga regulatif. Menurutnya, lambatnya realisasi APBD bukan semata-mata karena kepala daerah tidak mau bekerja atau kelebihan uang.
“Sejak dulu presiden sering marah soal penyerapan yang lambat. Tapi kita harus lihat konteksnya. Di daerah, proses itu tidak sesederhana membelanjakan uang. Ada tahapan panjang mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan tanah, sampai juklak-juknis dari pusat yang sering terlambat turun,” kata Prof. Djo, Kamis (23/10).
Dia mencontohkan, 500-an kepala daerah hasil pilkada serentak nasional yang baru dilantik pada akhir Februari 2025 ikut retret di Akmil Magelang, dan sibuk melakukan konsolidasi, menata pejabat, menyusun RPJMD, dan menyesuaikan APBD perubahan dengan visi-misi mereka. Akibatnya, kegiatan baru bisa berjalan efektif di pertengahan tahun.
“Itulah sebabnya dana yang tersimpan di bank pada pertengahan tahun ini tinggi. Tapi bukan berarti tidak dipakai. Biasanya pembayaran besar dilakukan di triwulan keempat. Jadi nanti Oktober–Desember penyerapan bisa mencapai 90 persen,” katanya.
Prof. Djo juga menilai, kritik pemerintah pusat kepada daerah sering tidak berimbang. Sebab, kementerian/lembaga di pusat pun kerap memiliki tingkat penyerapan rendah, dimana per September baru 55 persen. “Ini bukan penyakit daerah saja. Di pusat juga begitu. Per September 2025, serapan anggaran kementerian baru sekitar 55 persen. Jadi jangan daerah saja yang disalahkan,” tuturnya.
Ia menambahkan, data yang digunakan pemerintah pusat dalam menilai daerah sering kali tidak mutakhir. Misalnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyebut angka dana mengendap Rp4,1 triliun yang disampaikan pemerintah sudah tidak relevan karena per Oktober tinggal sekitar Rp2 triliun dan terus berkurang.
Menanggapi tudingan publik bahwa dana yang disimpan di bank menjadi ajang “bermain bunga” bagi oknum pejabat daerah, Prof. Djo menegaskan sistem keuangan daerah saat ini sudah sangat transparan dan diawasi ketat.
“Tidak benar kalau bunga deposito itu diambil pejabat. Semua diatur dan diawasi. Boleh memang menaruh dana di deposito jangka pendek, tapi bunganya masuk ke kas daerah, bukan ke pribadi,” katanya.
Menurutnya, praktik penempatan dana di deposito biasanya dilakukan oleh daerah dengan kemampuan fiskal kuat seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Badung, Tanah Bumbu, atau Kutai Kartanegara, yang memiliki cadangan dana besar dan pembayaran kegiatan baru jatuh tempo beberapa bulan kemudian. “Itu pun jangka pendek, dan sistem administrasinya sekarang sudah sangat ketat. KPK dan Kemendagri ikut mengawasi,” ujarnya.
Prof. Djo menilai, lambatnya serapan juga dipengaruhi oleh kerumitan prosedur birokrasi dan ketakutan pejabat terhadap risiko hukum. “Kepala daerah ingin cepat, tapi birokrasi harus hati-hati. Takut nanti kalau ada kesalahan, dianggap melanggar hukum. Akhirnya, semua jadi lambat. Ini yang perlu diperbaiki, perlu deregulasi dan penyederhanaan prosedur pengadaan barang dan jasa,” katanya.
Ia menekankan pentingnya reformasi regulasi agar birokrasi daerah lebih efisien tanpa mengorbankan akuntabilitas. “Perlu ada perbaikan serius di sistem administrasi dan birokrasi supaya tidak terus-menerus terjadi perlambatan setiap tahun,” tuturnya.
Dana yang lama mengendap di bank, kata Prof. Djo, berdampak langsung terhadap masyarakat yang seharusnya menikmati hasil pembangunan. “Kalau uangnya tidak segera dibelanjakan, proyek jalan, jembatan, obat di puskesmas, program stunting, semua tertunda. Yang dirugikan rakyat, bukan pejabat,” ujarnya.
Namun ia menegaskan, kebanyakan daerah sebenarnya akan mengebut realisasi di triwulan keempat. “Kalau Agustus masih terlihat tinggi dana mengendap, itu data lama. Coba lihat nanti Desember, pasti tinggal sedikit,” ucapnya.
Prof. Djo menggarisbawahi pentingnya reformasi dalam mekanisme perencanaan dan penganggaran daerah, agar persepsi “dana mengendap” tidak terus muncul setiap tahun.
“Sejak masa Presiden SBY dan Jokowi sudah dibahas perlunya reformasi sistem keuangan daerah. Sekarang saatnya dijalankan serius, dengan teknologi, transparansi, dan pembinaan yang konsisten dari Kemendagri,” katanya.






