JAKARTA, HANTARAN.Co – Anggota DPR RI Komisi VI, Nevi Zuairina, menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah untuk menerapkan bahan bakar campuran etanol 10 persen atau E10. Menurutnya, kebijakan ini merupakan langkah positif menuju transisi energi bersih yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak (BBM).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menilai bahwa penerapan E10 sejalan dengan komitmen nasional dalam menekan emisi karbon dan mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060. Ia menyebut, upaya pemerintah ini merupakan bagian dari strategi besar menuju kemandirian energi dan keberlanjutan lingkungan.
Meski demikian, Nevi mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak dijalankan secara tergesa-gesa. Ia menegaskan bahwa penerapan bahan bakar campuran etanol harus dilakukan bertahap dan terukur, dengan mempertimbangkan kesiapan seluruh aspek pendukung.
“Fraksi PKS mendukung langkah pemerintah mempercepat transisi energi bersih, namun kebijakan etanol ini jangan tergesa-gesa. Infrastruktur pendukung, kesiapan pasokan bioetanol dalam negeri, dan kesiapan kendaraan, terutama kendaraan lama, harus benar-benar diperhitungkan,” ujar Nevi kepada media Minggu (12/10) di Jakarta.
Anggota Fraksi PKS itu menambahkan, sebelum kebijakan diberlakukan secara nasional, pemerintah harus memastikan kesiapan industri dan infrastruktur agar transisi tidak menimbulkan masalah baru di lapangan. Ia menekankan pentingnya perencanaan matang sebelum kebijakan diterapkan.
“Kalau tujuannya mengurangi impor BBM, jangan sampai kita justru beralih ke ketergantungan impor etanol. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk pengembangan pabrik etanol dalam negeri dan memberikan insentif kepada industri lokal,” jelas legislator asal daerah pemilihan Sumatera Barat II tersebut.
Nevi menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri bioetanol berbasis bahan baku lokal seperti tebu, singkong, dan sorgum. Dengan pengelolaan yang tepat, sektor ini tidak hanya mendukung kemandirian energi, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja baru dan menghidupkan ekonomi pedesaan.
Selain aspek industri, Nevi juga menekankan pentingnya edukasi publik terkait karakteristik bahan bakar campuran etanol. Menurutnya, masyarakat harus diberi pemahaman yang cukup agar tidak timbul kekhawatiran berlebihan terhadap dampak penggunaan BBM jenis baru ini.
“Harus ada jaminan bahwa kendaraan masyarakat aman. Untuk kendaraan lama yang berpotensi rusak, berikan insentif atau kompensasi agar mereka tidak dirugikan,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti perlunya dukungan bagi SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) agar dapat menyesuaikan fasilitasnya dengan standar bahan bakar campuran etanol. Infrastruktur seperti pipa, tangki, dan pompa perlu disesuaikan agar tahan terhadap kandungan etanol.
“Pemerintah perlu memberikan insentif bagi SPBU untuk menyesuaikan fasilitasnya. Jangan sampai beban biaya penyesuaian ini justru memberatkan pengusaha SPBU kecil,” imbuhnya.
Nevi menilai bahwa kebijakan transisi energi seperti E10 tidak boleh hanya berfokus pada aspek lingkungan semata, tetapi juga harus mempertimbangkan keadilan sosial dan ekonomi masyarakat. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan energi harus berpihak kepada rakyat dan industri nasional.
“Semangat menuju energi bersih harus diiringi dengan kesiapan teknis, keadilan bagi masyarakat, dan keberpihakan pada industri dalam negeri,” tegas Nevi.
Nevi Zuairina kembali menekankan pentingnya transparansi dan kehati-hatian dalam pelaksanaan program E10. Ia berharap pemerintah tidak hanya mengejar target, tetapi juga memastikan setiap langkah diambil dengan memperhatikan kepentingan nasional.
“Kebijakan etanol ini baik, tetapi harus dijalankan dengan hati-hati, transparan, dan berpihak pada kemandirian energi nasional,” pungkasnya.