Ekonomi

Pemangkasan TKD Cerminan Ekonomi Nasional Kehilangan Nafas

99
×

Pemangkasan TKD Cerminan Ekonomi Nasional Kehilangan Nafas

Sebarkan artikel ini

PADANG, HANTARAN. Co–Kebijakan pemangkasan TK menuai kritik keras dari Ekonom Universitas Andalas (Unand), Prof. Elfindri. Ia menilai langkah ini bukan hanya sekadar penyesuaian fiskal, melainkan cermin dari dilema ekonomi nasional yang tengah kehilangan napas.

“Selama ini hampir 70 persen APBN terserap
untuk biaya rutin. Hanya sekitar 30 persen yang benar-benar menjadi belanja modal. Kalau biaya rutin itu pun dipotong, maka yang terjadi bukan efisiensi, tapi dilema fiskal,” ujarnya, Kamis (8/10/2025).

Ia menyebut, pemangkasan TKD adalah sinyal bahwa pemerintah pusat tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk menggerakkan
roda pemerintahan. Ironisnya, pada saat fiskal
pusat sedang ketat, justru muncul kebijakan
populis seperti MBG yang dinilai kacau-balau
dan sarat aroma pemborosan uang negara.

“Kenyataannya, pusat lebih memprioritaskan
program seperti MBG ketimbang membiayai
jalannya pemerintahan daerah. Dana MBG yang semula 70 triliun kini melonjak menjadi sekitar
300 triliun,” katanya.

Bagi Elfindri, langkah ini menunjukkan
adanya pergeseran prioritas yang tidak sehat.
Daerah dipaksa berhemat, sementara pusat
justru mengucurkan triliunan rupiah untuk
program yang efektivitas dan urgensinya belum terbukti.

Dengan kondisi demikian, menurutnya
daerah berada dalam posisi sulit. Pemda dilarang mengalokasikan lebih dari 30 persen APBD untuk gaji pegawai, sementara sumber penerimaan utama mereka semakin menyempit.

“Daerah sekarang harus meninjau ulang
kewenangan mana yang benar-benar menjadi
tugas pusat lewat gubernur, dan mana yang bisa dilaksanakan kabupaten/kota. Karena ruang
geraknya makin sempit,” kata Prof. Elfindri.

Bagaimanapun, pertumbuhan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) sangat bergantung pada
pertumbuhan ekonomi lokal. Jika ekonomi
melambat akibat kebijakan fiskal yang kaku,
maka PAD akan otomatis stagnan.

“Pertumbuhan ekonomi dan PAD itu berjalan beriringan. Kalau satu turun, yang lain ikut lumpuh,”ucapnya.

Menghadapi kondisi ini, ia menyarankan agar
pemda segera melakukan audit terhadap seluruh Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dari situ, daerah harus menentukan mana layanan yang bisa dijalankan dan mana yang realistis untuk ditunda.

Ia juga mendorong daerah untuk memangkas
pengeluaran non-esensial, seperti anggaran
makan-minum rapat, penyambutan tamu, hingga penggunaan listrik yang berlebihan.
Namun begitu, ia mengingatkan bahwa
efisiensi semata tidak cukup. Ruang fiskal daerah
terlalu sempit untuk menopang pembangunan jika pusat terus menyedot sumber pendapatan
melalui pajak dan royalti.

Prof Elfindri menilai akar persoalan fiskal
ini bukan di daerah, tetapi di pusat. Dalam hal
ini, pemerintah harus berani menagih kembali
uang negara yang hilang akibat korupsi dan
praktik capital flight atau pelarian modal ke luar negeri.

“Saya menyarankan Pak Prabowo untuk
mengambil kembali sumber-sumber pertam
bangan yang dikorupsi oleh orang-orang lama.Itu uang negara yang sah,” tuturnya.

Ia mencontohkan praktik yang marak terjadi
di sektor batubara. Saat ini, batubara asal
Indonesia disinyalir dijual murah ke perusahaan cangkang di Singapura, padahal dari induk perusahaan di Indonesia. Akibatnya, pajak ekspor hilang dan negara dirugikan triliunan rupiah.

Fenomena seperti ini membuat potensi penda
patan negara terus bocor, sementara daerah
justru dikorbankan lewat pemangkasan dana.
Prof. Elfindri menegaskan, menyehatkan
ekonomi tidak bisa dilakukan hanya lewat
instrumen fiskal.

Peranan anggaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi bagaimanapun sangat kecil dibanding pengeluaran konsumsi, investasi, dan ekspor-impor. Oleh karena itu, ia menilai kebijakan pemangkasan TKD tidak akan menyelesaikan persoalan fiskal nasional. Namun justru bisa menciptakan efek domino berupa stagnasi ekonomi daerah dan turunnya daya beli masyarakat.

Terakhir, ia menyerukan agar Presiden berani
menempuh jalan yang lebih fundamental
daripada sekadar memotong dana transfer.

“Kalau mau ekonomi sehat, kejar dulu uang-
uang yang hilang karena korupsi dan manipulasi ekspor. Bongkar jaringan perusahaan cangkang itu. Baru bicara soal efisiensi anggaran,” katanya.

Menurutnya, keberanian politik untuk
menutup kebocoran besar di sektor pertam
bangan dan ekspor akan jauh lebih berdampak bagi fiskal negara ketimbang memangkas dana daerah yang justru menopang pelayanan publik.