PADANG, HANTARAN.Co—Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan, dari 262 orang pecandu narkoba yang menjalani rawat inap dalam lima tahun terakhir di RSJ HB Saanin Padang, sebanyak 40 di antaranya dinyatakan mengalami gangguan jiwa permanen akibat kerusakan otak karena penggunaan narkotika.
“Ini bukti nyata. Narkotika bukan hanya merusak fisik, tapi juga menghancurkan jiwa dan pikiran. Banyak dari mereka yang tidak akan pernah kembali normal,” kata Kepala BNNP Sumbar, Brigjen Pol Ricky Yanuarfi, Senin (6/10)
Brigjen Ricky menyebut, efek paling menakutkan dari narkoba adalah kegilaan. Pengguna yang sudah parah cenderung kehilangan kendali diri, mengalami gangguan mental berat, bahkan agresif sehingga membutuhkan obat penenang seumur hidup. “Mereka tidak akan pernah dinyatakan benar-benar pulih. Kalaupun pulih, belum tentu sembuh. Karena sebagian besar akhirnya relaps— kembali menggunakan,” tuturnya.
Merujuk hasil riset Badan Narkotika Nasional (BNN), dari 10 pengguna narkotika di Indonesia, sebanyak 8 di antaranya akan relapse atau kambuh. Inilah yang membuat rehabilitasi pascarawat menjadi krusial.
“Pascarehabilitasi sangat penting untuk mengontrol agar mereka tidak relapse. Tapi ini tidak bisa BNN kerja sendiri. Harus ada kolaborasi, dengan Balai Latihan Kerja, perusahaan, dan lembaga sosial, untuk membantu mereka kembali diterima di tengah masyarakat,” tutur Ricky.
Sayangnya, tantangan sosial masih besar. Banyak pecandu yang kehilangan kepercayaan diri dan kesempatan kerja. Dunia pendidikan dan industri masih menutup pintu bagi mereka. “Coba saja, perguruan tinggi mana atau perusahaan mana yang mau menerima mantan pecandu? Hampir tak ada. Ini masalah sosial yang berat,” ucapnya.
Lebih jauh ia menyampaikan, saat ini di Sumbar hanya ada satu fasilitas rehabilitasi gratis, yakni di RSJ HB Saanin Padang. Sementara BNN sendiri memiliki beberapa pusat rehabilitasi nasional di Lido (Jawa Barat), Batam, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara (Sumut). Namun, akses ke fasilitas tersebut masih terkendala stigma sosial.
“Masih banyak keluarga yang malu melapor. Mereka menganggap pecandu itu aib, menurunkan kehormatan keluarga. Akhirnya disembunyikan. Padahal, aib yang disembunyikan justru bisa menjadi bencana,” kata Ricky.
Meski begitu, ia bersyukur lantaran dalam satu setengah tahun terakhir kesadaran masyarakat mulai tumbuh. Sudah mulai banyak melapor, walau belum signifikan. Namun menurutnya ini sudah menjadi langkah maju.