AGAM, hantaran.co – Dalam rangka memperkuat sinergitas antar anggota Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora), Kantor Imigrasi Agam menggelar rapat Timpora tingkat Kota Payakumbuh pada Jumat (26/9).
Kegiatan rutin ini diikuti oleh berbagai instansi terkait, di antaranya Kepolisian, TNI, kejaksaan, Pemerintah Daerah, BNN, Lapas, serta lembaga lain yang tergabung dalam Timpora.
Kepala Kantor Imigrasi Agam, Budiman Hadiwasito, menyampaikan bahwa rapat ini merupakan wadah bagi para stakeholder untuk berbagi informasi dalam rangka pengawasan keberadaan warga negara asing (WNA) di wilayah kerja Imigrasi Agam.
“Rapat ini bertujuan untuk meminimalisasi potensi adanya aktivitas WNA yang dapat mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat. Peran masyarakat juga sangat penting, yakni dengan melaporkan kepada petugas apabila mengetahui adanya kegiatan WNA yang dianggap meresahkan,” ujar Budiman.
Ia menambahkan, sinergi antarinstansi menjadi sangat vital mengingat wilayah kerja Imigrasi Agam mencakup delapan kabupaten/kota. Keberadaan Timpora dinilai efektif untuk memperkuat fungsi pengawasan tersebut.
Dalam rapat itu, Budiman juga menyinggung isu yang tengah menjadi perhatian publik di Payakumbuh terkait seorang WNA berinisial NA, yang saat ini sedang didetensi di Kantor Imigrasi Agam.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sumatera Barat, Nurudin, setelah melakukan klarifikasi ke Ombudsman Sumbar, menegaskan bahwa NA adalah orang asing murni.
“Berdasarkan dokumen yang ada, ayah NA berkewarganegaraan Malaysia, sementara ibunya Singapura. Tidak ada garis keturunan Indonesia, sehingga NA bukan WNI,” jelas Nurudin.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa NA akan dipulangkan ke Malaysia. Namun, pihak Imigrasi tetap mempertimbangkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga NA tidak akan dikenakan penangkalan. Dengan demikian, ia masih dapat kembali ke Indonesia dengan prosedur resmi menggunakan paspor Malaysia dan visa yang sah.
Nurudin menegaskan, meskipun NA telah tinggal puluhan tahun di Indonesia, hal itu tidak serta-merta menjadikannya WNI. Selama ini NA tinggal tanpa izin resmi, tidak pernah melapor ke kantor imigrasi, serta memiliki dokumen kependudukan berupa KTP yang bukan haknya.
Budiman menambahkan bahwa pada tahun 2024, NA pernah dideportasi ke Malaysia menggunakan travel document berupa Surat Pengakuan Cemas dari Perwakilan Malaysia di Indonesia.
Dokumen kependudukan yang dimilikinya juga telah dikembalikan ke Disdukcapil Payakumbuh. Namun, saat di Malaysia, NA kembali bermasalah karena mengaku sebagai WNI dengan menunjukkan foto KTP di ponselnya. Atas dasar itu, ia sempat memperoleh SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) dan kembali dipulangkan ke Indonesia.
“Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya menaati prosedur hukum keimigrasian suatu negara, agar tidak timbul masalah di kemudian hari,” pungkas Budiman.(*).






