BeritaFokusNasionalPadangSumbarviral

Presma UIN Imam Bonjol: Perpres BPH Dinilai Langgar UU, Berpotensi Timbulkan Kekacauan Hukum

15
×

Presma UIN Imam Bonjol: Perpres BPH Dinilai Langgar UU, Berpotensi Timbulkan Kekacauan Hukum

Sebarkan artikel ini

PADANG, hantaran.co — Presiden Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Hidayatul Fikri, menyampaikan kritik keras terhadap pengelolaan ibadah haji oleh Badan Penyelenggara Haji (BPH) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 154 Tahun 2024. Ia menilai kebijakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang dan menimbulkan kekacauan dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji nasional.

“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 secara jelas menyatakan bahwa Menteri Agama adalah penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan ibadah haji,” ujar Fikri, Jumat (25/7/2025).

Menurutnya, pendelegasian kewenangan penuh kepada BPH, sebagaimana diatur dalam Perpres tersebut, berisiko menabrak hierarki hukum dan substansi Undang-Undang yang lebih tinggi.

Fikri menjelaskan bahwa meskipun dalam Perpres disebutkan BPH bertugas memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan haji, terdapat kekhawatiran bahwa pelaksanaannya bisa melewati batas kewenangan yang ditetapkan undang-undang.

“Jika BPH menjalankan fungsi secara penuh, maka terjadi pengambilalihan tanggung jawab dari Kementerian Agama yang diatur dalam UU. Hal ini bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, kebingungan, hingga kekosongan hukum,” kata Fikri.

Ia juga menyoroti bahwa pembentukan lembaga baru di luar struktur UU berpotensi mengikis transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji.

Lebih jauh, Fikri menilai kebijakan ini bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia menyebut pengambilalihan fungsi fundamental kementerian oleh lembaga eksekutif di bawah presiden, tanpa revisi UU, dapat merusak sistem ketatanegaraan.

“Setiap kementerian memiliki portofolio dan tanggung jawab yang jelas. Penyelenggaraan haji secara konstitusional berada di bawah domain Menteri Agama. Kalau ingin dialihkan, harus melalui perubahan Undang-Undang, bukan sekadar Perpres,” ucapnya lagi.

Fikri juga menekankan pentingnya memastikan tata kelola dana haji tetap dalam koridor hukum yang jelas, mengingat besarnya nilai dan sensitivitas dana tersebut.

Fikri merinci beberapa risiko yang berpotensi muncul jika BPH tetap menjalankan peran penyelenggaraan haji tanpa revisi UU, antara lain:

Pelanggaran Hierarki Hukum: Perpres dinilai bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi kedudukannya dalam tata peraturan perundang-undangan.

Pengikisan Transparansi dan Akuntabilitas: Minimnya pengawasan hukum dapat meningkatkan risiko penyimpangan dan inefisiensi.

Ketidakpastian Hukum: Perpres rentan digugat, menimbulkan kebingungan bagi jemaah dan pihak terkait.

Preseden Buruk dalam Kebijakan: Mengabaikan UU demi peraturan setingkat lebih rendah berpotensi menjadi contoh buruk dalam proses legislasi nasional.

Sebagai representasi mahasiswa, Fikri menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu ini dan menyerukan partisipasi masyarakat luas, khususnya pegiat hukum dan antikorupsi, agar bersama-sama mendorong pemerintah mematuhi koridor hukum.

“Dana haji adalah amanah umat. Jangan sampai kesalahan kebijakan merugikan jemaah. Kami akan terus bersuara demi kemaslahatan bersama,” pungkasnya.