Pesisir Selatan – Pengamat pendidikan Dr. Rodi Chandra menyoroti persoalan dalam proses Seleksi Penerimaan Masuk Bersama (SPMB) tahun 2025 di SMAN 1 Sutera, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Ia menilai sistem penerimaan jalur domisili atau zonasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut Dr. Rodi, jalur zonasi yang seharusnya memberikan akses pendidikan yang lebih adil bagi siswa dari keluarga kurang mampu, justru menciptakan ketimpangan baru.
“Sebenarnya, sistem ini bertujuan untuk memberikan peluang bagi siswa keluarga kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak di lingkungan terdekat. Tapi faktanya, banyak anak-anak yang tinggal sangat dekat dengan sekolah justru tidak diterima,” ujarnya pada wartawan, Sabtu (12/7/2025).
Ia menambahkan, dampak dari penerapan sistem yang tidak sesuai tersebut adalah munculnya beban baru bagi keluarga. Anak-anak harus menempuh jarak lebih jauh ke sekolah lain, sehingga memerlukan biaya tambahan seperti transportasi dan konsumsi harian.
“Bayangkan jika keluarga kurang mampu harus menanggung ongkos tambahan, karena anaknya tidak bisa masuk sekolah yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Ini jelas sangat membebani dan menyulitkan,” katanya.
Dr. Rodi juga menyayangkan sikap penyelenggara pendidikan daerah yang dinilainya tidak menunjukkan tanggung jawab. Menurutnya, seolah-olah persoalan ini hanya dianggap sebagai urusan pemerintah pusat.
“Penyelenggara pendidikan di daerah bersikap kaku dan diam. Tidak ada solusi konkret yang diberikan. Seharusnya mereka turun langsung menyikapi keresahan masyarakat,” ucapnya lagi.
Sebelumnya, puluhan orang tua siswa menggelar aksi damai di depan gerbang SMAN 1 Sutera sebagai bentuk kekecewaan terhadap hasil SPMB 2025. Mereka memprotes banyaknya anak-anak yang berdomisili di sekitar sekolah, terutama di Kenagarian Surantih, yang tidak diterima melalui jalur zonasi.
Perwakilan orang tua, Arji Wasit (55), meminta proses seleksi dilakukan secara transparan dan berpihak kepada siswa yang memang tinggal di sekitar lingkungan sekolah. Mereka juga menuntut kejelasan mekanisme seleksi jalur afirmasi dan prestasi.
Dalam aksi itu, massa mendesak Gubernur Sumatera Barat dan Dinas Pendidikan Provinsi segera turun tangan. Mereka memberi tenggat waktu lima hari sejak aksi digelar, dan mengancam akan mendatangkan lebih banyak massa dan menghentikan proses belajar mengajar jika tidak ada tanggapan.
Fitriani, salah satu orang tua siswa, juga mempertanyakan indikator penilaian dalam jalur zonasi. Menurutnya, jika nilai akademik menjadi pertimbangan utama, maka jalur tersebut tidak sesuai dengan prinsip pemerataan akses pendidikan.
Aksi berlangsung tertib dan dikawal aparat kepolisian. Sebuah berita acara telah ditandatangani antara pihak sekolah, komite, perwakilan orang tua, dan kepolisian. Dalam berita acara tersebut disepakati bahwa kepala sekolah, ketua komite, dan perwakilan orang tua akan menghadap langsung ke Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat. Hasil pertemuan dijadwalkan akan diterima paling lambat dua bulan ke depan.
Orang tua tetap berharap anak-anak mereka bisa diterima di SMAN 1 Sutera dan menyatakan belum mendaftarkan ke sekolah lain sampai ada keputusan resmi.