Hendra Naldi
Dosen Sejarah UNP dan Peneliti di Cetcos
Akhir-akhir ini telah terjadi tawuran dimana-mana. Beberapa hari terakhir Kota Padang dihebohkan dengan aksi brutal sekelompok pelajar yang saling serang. Pertanyaan paling mendasar dari peristiwa ini adalah apa sebanarnya yang sedang terjadi?. Sementara itu, di lain pihak perilaku sosial dan politik dunia penuh dengan sikap-sikap post truth. Semacam pembenaran menurut pemikiran kelompok yang merasa ingin benar, meskipun secara norma kelaziman dahulunya adalah sebuah ketidakbenaran. Apa pula kaitannya kedua fenomena ini?
Di era keberlimpahan teknologi saat ini telah bermunculan generasi Z yang terbentuk dengan pola pikir lebih maju, mereka yang mengikuti arus perkembangan revolusi industri 4.0. Karakter generasi ini pada satu sisi menunjukkan suatu kemajuan atas penguasaan teknologi, namun di sisi lain generasi ini berada dalam alam pikir kapitalistik yang cenderung pragmatis bahkan oportunis, hal ini dieskpresikan dengan orientasi dominan pada materi dan ketenaran.
Kondisi di atas dalam realitasnya pasti akan berbenturan dimana-mana. Kejadian tawuran adalah fenomena yang diperkirakan terjadi akibat hal tersebut. Tawuran merupakan perilaku kolektif yang salah satunya termotivasi akibat imitasi. Kenapa Imitasi? Sikap ini apabila dikaitkan dengan teknologi yang sedang berkembang berasal dari tontonan kekerasan yang bisa mereka dapatkan dari teknologi itu sendiri.
Fenomena kekerasan yang dipertontonkan oleh para pelajar adalah produk dari media sosial seperti Youtube dan lain sebagainya. Melalui konten yang tersedia di berbagai flatform tersebut telah “menghipnotis” para remaja untuk bertindak sesuka hati tanpa mengindahkan etika dan norma yang berlaku. Berbagai konten kekerasan menyebar dari tangan kreator-kreator yang tidak bertanggungjawab, dan lebih parahnya konten tersebut tidak disensor dengan harapan agar mendapat predikat “viral”. Kasus-kasus yang mereka gambarkan bahkan melebihi dari peristiwa yang sebenarnya terjadi. Tujuan utama dari kreator itu hanyalah demi keuntungan materi dan ketenaran.
Di arus disrupsi saat ini, cara cepat untuk mendapat predikat “viral” dan memperoleh ketenaran banyak dilakukan melalui cara-cara yang tidak wajar, bahkan harus menembus batas-batas kewajaran yang terkadang melanggar nilai dan norma yang berlaku. Hal inilah yang disebut dengan sikap post truth. Satu konsep filosofi berpikir dalam tindakan sosial dan politik untuk memperjuangkan kebenaran subjektif kelompok atau dirinya sendiri. Menariknya, di era keberlimpahan teknologi, sikap tersebut dianggap sesuatu yang lumrah dan layak dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya bahwa dari sekian banyak kreativitas yang dimunculkan anak muda dalam mencari jati diri ternyata dihadapkan dengan realitas semu yang memunculkan ketidakwajaran. Fenomena tawuran menjadi ekspresi yang dipertontonkan sebagai produk post truth tersebut.
Saat ini dunia sedang berhadapan dengan realita post truth yang menggiring orang-orang untuk berprilaku berlebihan dan menerima ketidakwajaran, kekerasan menjadi salah satu produknya. Bagi anak muda ekspresi post truth ditunjukkan melalui aksi tawuran, pelecehan seksual, dan penyimpangan norma lainnya. Kondisi ini diperparah dengan ketidakmampuan mereka dalam membaca manfaat dan peluang yang tersedia dalam keberlimpahan teknologi saat ini. Mereka ingin menjadi viral tapi dengan aktivitas yang mungkin saja awalnya menurut mereka baik. Tapi pada ujungnya mengancam dan merugikan orang lain.
Peran Otoritas
Saat ini kita tidak mungkin lagi bergantung sepenuhnya pada peran orang tua semata. Pemerintah dan pihak terkait memiliki peran strategis menghadirkan formula atas masalah di atas, mulai dari menertibkan para pelaku hingga pada tindakan edukasi yang mencerahkan, seperti memberi pemahaman atas penggunaan teknologi internet serta memberi penguatan atas manfaat serta dampaknya.
Salah satunya upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mewajibkan jam malam dan ketertiban dunia malam, karena kejahatan tawuran banyak terjadi karena gesekan dunia malam. Di tengah arus pencarian jati diri, anak muda membentuk kelompok-kelompok yang merepresentasikan karakteristik mereka. Di samping itu, di tengan rasa ingin tahu yang lebih mereka pun melakukan banyak hal yang dirasa perlu dilakukan, maka tidak heran fenomena tawuran dan sebagainya terjadi akibat kurangnya pengawalan dan edukasi atas orientasi mereka. Melalui pengawasan yang ketat pada jam malam akan mencegah anak muda untuk bertindak sesuka hati, hal ini pun akan mengurangi potensi terjadinya perilaku yang tidak diinginkan.
Peran kekuatan kultural
Alam Indonesia sesungguhnya banyak menyimpan kearifan lokal. Di Sumatera Barat kearifan lokal terwujud melalui berbagai nilai dan aktivitas yang diselenggarakan oleh masyarakat adat. Idealnya keterlibatan masyarakat adat sebagai kekuatan kultural dapat membendung arus negatif tersebut melalui berbagai strategi. Masyarakat adat dapat bersinergi dengan berbagai pihak untuk mencegah sikap-sikap kekerasan dengan menangkalnya melalui keikutsertaan dalam membina anak nagari, seperti mengadakan berbagai pelatihan tentang pemahaman nilai adat hingga pada keterampilan yang dibutuhkan saat ini. Pola tersebut sebenarnya telah dilakukan oleh nenek moyang Minangkabau melalui surau.
Di tengah arus modernisasi seharusnya masyarakat adat mampu beradaptasi dengan hal-hal baru tanpa harus menghilangkan identitas, dengan demikian akan mendapat tempat di tengah masyarakat luas. Norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adat dapat disosialisasikan melalui saluran media teknologi, seperti mengedukasi anak muda untuk membuat konten-konten kreatif dan edukatif melalui saluran youtube. Dengan demikian anak muda akan mendapat sentuhan kultural yang mengikat mereka untuk tetap bertahan menjunjung tinggi norma yang berlaku.
Identitas masyarakat Sumatera Barat yang terkenal dengan budaya Minangkabau seharusnya diletakkan pada posisi tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Peran “tigo tungku sajarangan” harus kembali digeliatkan melalui strategi yang modern dan dapat diterima oleh generasi Z. Bukankah pepatah menyebutkan “sakali ayia gadang sakali tapian pindah”, maka dari itu selayaknya “tigo tungku sajarangan” diberi peran besar untuk menghidupkan kembali semangat kultural. Dengan demikian sikap post truth yang membenarkan ketidakbenaran akan cepat dapat dicegah oleh masyarakat.
Post truth sesungguhnya bisa dibaca oleh masyarakat Minang yang terbiasa bermain dalam “silat alam”, silat yang berlaku untuk seluruh panca indra, mulai dari silat mata, tubuh, lidah sampai silat raso jo pareso. Artinya alam post truth sudah biasa bagi orang Minang, mereka terbiasa dengan pepatah “indak batu pangganja kaki, namun raso bana nan indak di badan”, artinya tidak ada hidup ini yang jujur, bila rasa tidak dipakai lagi jadi pedoman.
Peristiwa tawuran pelajar yang banyak merebak di masyarakat akhir-akhir ini adalah cerminan lemahnya pengawasan struktural dan kultural, serta membiarkan generasi muda permisif dengan sikap-sikap negatif yang mereka dapatkan dari berbagai saluran media sosial. Maka dari itu, peran serta semua pihak dengan segala potensi yang ada untuk mencegah berbagai tindakan negatif menjadi suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. (*)