Hukum

Dr. Nengah Renaya: Penerapan Kerugian Ekonomi Negara dalam Perkara Korupsi Menyangkut Hajat Hidup Masyarakat

11
×

Dr. Nengah Renaya: Penerapan Kerugian Ekonomi Negara dalam Perkara Korupsi Menyangkut Hajat Hidup Masyarakat

Sebarkan artikel ini

JAKARTA, hantaran.co – Gencarnya penindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) beserta jajarannya perlu mendapat apresiasi sekaligus dukungan dari masyarakat, termasuk kalangan praktisi hukum, pemerhati hukum, dan akademisi hukum.

Dr. Nengah Renaya, praktisi hukum, notaris dan PPPAT serta dosen pengajar Pasca Sarjana Universitas Warmadewa mengatakan, langkah strategis tindakan represif Kejagung dalam menggoreng kasus yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat adalah hal yang sangat populis.

Masyarakat kata dia, tentu saja tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah sebagai pembuat regulasi, atau kebijakan tata kelola terkait kepentingan masyarakat. Tetapi akan lebih jauh mengetahui ternyata di tengah kesulitan dan himpitan masyarakat masih ada yang tega berbuat keji dengan menyalahgunakan fasilitas eksport import yang diberikan pengusaha untuk mempermainkan harga yang disebut dengan “mafia” atau “kartel” dengan kata lain adalah corruptio yang kalau diterjemahkan dalam KBBI adalah kejahatan.

Menurut dosen Magister Kenotariatan Universitas Udayana itu, keburukan dapat disuap, dan tidak bermoral. Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak mengawasi prilaku buruk para mafia, kartel, dan koruptor ini untuk membantu penegakan hukum di Indonesia.

Dr. Nengah Renaya yang juga seorang akademisi diberbagai perguruan tinggi Denpasar itu menyebut, masyarakat tidak boleh diam saja dan seolah-olah bersikap permisif atau tidak mau tahu, karena yang menjadi korban adalah bukan saja keuangan negara yang digerogoti akibat fasilitas dan kemudahan yang diberikan itu, namun para pengusaha kecil dan menengah yang tidak mampu bersaing dipasaran juga bakal berdampak. Sebab, mereka menjadi korban karena permainan harga yang dilakukan oleh pelaku korupsi dimaksud.

“Disisi lain, memang dengan Putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang mencabut kata “DAPAT” dan menjadikan pasal 2 (1) dan pasal 3 delik materiil yang menunjukkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara haruslah menjadi nyata dan pasti (actual loss). Sehingga hal ini menjadi hambatan dalam menerapkan unsur kerugian perekonomian negara” ujarnya.

Namun demikian, Kejaksaan sudah pernah menerapkan beberapa kasus terkait dengan penerapan dan pembuktian perekonomian negara yang bisa menjadi yurisprudensi bagi penegak hukum dalam mengambil pertimbangan dan keputusan antara lain jauh sebelum adanya putusan Makamah Konstitusi (MK).

Antara lain, kata dia, putusan nomor 1164 K/Pid/1985 atas nama terdakwa TG. Dimana terdakwa secara sengaja melawan hukum membangun tanpa ijin di wilayah perairan yang mengakibatkan negara tidak dapat memanfaatkan dan menggunakannya untuk kepentingan umum. Menurut Majelis Hakim pada saat itu perbuatan tersebut termasuk yang merugikan perekonomian negara.

“Sementara pada kasus lain, berkaitan dengan perekonomian negara adalah putusan Nomor, 1144 K/Pid/2006 atas nama terdakwa ECW N sebagai direktur Utama Bank Mandiri yang memberikan pinjaman (Bridging loan) secara melawan hukum dengan tidak memperhatikan prinsip ke hati-hatian dalam Perbankan dan cenderung KKN,” tuturnya.

Ia menambahkan, menurut pertimbangan majelis hakim hal tersebut termasuk merugikan perekonomian negara, karena dengan memberikan jumlah kredit yang besar dalam kondisi negara dan masyarakat membutuhkan pembangunan ekonomi kerakyatan dan diberikan kepada pengusaha yang tidak produktif.

Dalam perkembangannya setelah atau pasca dikeluarkannya putusan MK, kasus yang terbukti dalam penerapan unsur perekonomian negara adalah kasus ekspor tekstil oleh PT. Peter Garmindo Prima dan PT. Flemings Indo Batam atas nama terdakwa Drs IR dengan Putusan MA No.4952 K/Pid.sus/2021 tanggal 8 Desember 2021.

Dalam pertimbangannya menyatakan, akibat terjadinya penyalahgunaan ijin Import maka terjadi lonjakan jumlah import barang yang masuk berpotensi merugikan produk tekstil dalam negeri dan menyebabkan penutupan sejumlah pabrik tekstil dan UMKM sehingga berdampak terjadinya pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Kemudian, masih kata Dr. Nengah Renaya, akibat penurunan produksi dalam negeri yang menurun terdapat pula pangsa pasar domestik mengalami penurunan. Akibatnnya juga berpengaruh terhadap industri perbankan yang telah memberikan kredit terhadap pabrik pabrik tekstil yang tutup dan tidak mampu membayar cicilan. Sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan kebijakan ekonomi Mikro dalam rangka melindungi daya saing industri tekstil dalam negeri terhadap tekstil import.

“Jika penerapan perekonomian negara dapat diterapkan, maka kejaksaan tidak saja menuntut secara riil kerugian negara sebagai uang pengganti, tetapi juga akan dapat merampas seluruh aset terdakwa dan perusahaan sebagai pergantian atas tergerusnya perekonomian masyarakat luas akibat perbuatannya,” ucapnya menjelaskan.

hantaran/rel