PESSEL, hantaran.co – Dewan Pengawas (Dewas) PDAM Tirta Langkisau Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat, menolak Rencana Kerja Perusahaan (RKP) 2022.
Ketua Dewan Pengawas Syahrial Effendi menyebutkan, RKP yang diajukan direksi belum menggambarkan inovasi dan prospek bagi majunya bisnis perusahaan, sehingga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu dinilai sulit untuk berkembang.
“Justru apa yang diajukan terlalu banyak belanja yang tidak jelas, diantaranya dana bencana dan pembelian peralatan yang tidak perlu,” ujarnya di Painan, Selasa (18/1).
Sesuai aturan direksi PDAM, wajib membuat RKP setiap tahun sebagai kontrak kinerja dan sekaligus penjabaran rencana kerja 5 tahun sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dokumen kontrak kinerja atau RKP yang disusun direksi harus mendapatkan persetujuan dari dewan pengawas dan selanjutnya diajukan bersama-sama pada bupati untuk meminta persetujuan.
Menurut Syahrial, direksi sudah saatnya memiliki intuisi bisnis, sehingga keberadaan PDAM sebagai sebuah perusahaan pelat merah hendaknya mampu berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Jangan selalu minta uang sama rakyat. Jadi, selain pelayanan publik, PDAM juga harus ada orientasi bisnisnya sebagai badan usaha,” ucapnya.
Terpisah Kepala Kasubag BUMD Bagian Perekonomian Pesisir Selatan, Rafna mengatakan, hingga kini direksi PDAM masih belum memberikan kontrak kinerjanya sesuai target 5 tahunan yang dibuat.
Karena itu, pihaknya meminta agar jajaran manajemen segera menyampaikannya, karena kontrak kinerja merupakan sesuatu yang wajib dan sekaligus bentuk komitmen pengurus perusahaan terhadap kinerjanya.
Ketika ditanyai soal laporan keuangan dan alokasi APBD selama periode 2021-2022, ia mengaku tidak berhak memberikan data tersebut.
“Kalau itu kami tidak bisa secara langsung memberikannya. Sebaiknya minta langsung pada direksi,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur PDAM Tirta Langkisau Herman Budiarto mengaku rencana bisnis tahunan periode 2022 masih dalam tahapan penyusunan bersama dewan pengawas. Setelah itu baru disampaikan pada bupati.
Pada rencana bisnis tahun ini, kata dia, jajaran direksi memang masih belum memasukan rencana pengelolaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), mengingat keuangan perusahaan yang belum membaik.
“Itu karena biaya operasional nyaris sama besarnya dengan pendapatan,” tuturnya.
Saat ini pendapatan usaha penjualan air pada pelanggan tercatat sebesar Rp1,2 miliar per bulan. Sedangkan pengeluaran operasional mencapai Rp1,1 miliar per bulan, sehingga perseroan sulit untuk berinvestasi.
Ekspansi pengembangan jaringan atau membuka unit usaha turunan hanya bisa dilakukan jika adanya suntikan modal dari pemerintah kabupaten melalui APBD. Namun, untuk 2021-2022 itu tidak ada.
“Bisa jadi karena pemerintah daerah tidak ada anggaran. Makanya kami belum memasukan perencanaan bisnis AMDK dalam RKP tahun ini,” katanya.
Sementara, Ketua Fraksi Demokrat Hanafi Herman menyebutkan, agar bupati meninjau ulang status PDAM karena hanya mengandalkan suntikan modal APBD, tanpa memberikan laba sebagai PAD.
“Sebaiknya jadikan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah salah satu dinas perangkat daerah, sehingga lebih efisien dan upaya percepatan pemenuhan air bersih pada masyarakat lebih efektif,” ujarnya.
Opsi lainnya, kata dia, adalah mengevaluasi jajaran direksi karena tidak ada inovasi dan upaya pengembangan usaha turunan di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bidang air minum itu.
“Jangan sampai PDAM jadi anak manja di usianya yang cukup tua,” ucapnya menegaskan.
(Okis/Hantaran.co)