Fokus

Bahasa dan Sastra Minangkabau di Tengah Kepungan Teknologi

11
×

Bahasa dan Sastra Minangkabau di Tengah Kepungan Teknologi

Sebarkan artikel ini
MInangkabau
Minangkabau. IST

Orang tua cenderung menganggap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai tolak ukur agar anaknya untuk bisa menjadi orang yang lebih maju dan berpendidikan. Banyak orang tua, yang sedari kecil sudah mengajarkan anaknya untuk berbahasa Indonesia, namun tidak mengajarkan bahasa Minangkabau. Ini yang membuat bahasa, bahkan dalam konteks kesusastraan, kian terpinggirkan.

RENIWATI

Pakar Bahasa Minangkabau Unand

 

PADANG, hantaran.co — Kemajuan teknologi informasi yang pesat satu dekade terakhir semestinya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan bahasa dan sastra Minangkabau,  terutama di kalangan generasi muda yang akrab dengan dunia digital. Tak hanya sebagai media promosi, platform digital juga bisa menjadi sarana publikasi nonfisik.

Pakar Bahasa Minangkabau Universitas Andalas (Unand), Reniwati mengatakan, saat ini keberadaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah dan bahasa ibu kian terpinggirkan. Hal ini tak terlepas dari pengaruh orang tua yang tak lagi mengajarkan bahasa Minangkabau kepada anak-anaknya.

Menurutnya, orang tua menganggap bahasa daerah tidak lagi ada gunanya. Orang tua cenderung menganggap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai tolak ukur anaknya untuk bisa menjadi orang yang lebih maju dan berpendidikan.

“Sehingga, banyak orang tua yang sedari kecil sudah mengajarkan anaknya untuk berbahasa Indonesia, namun tidak mengajarkan bahasa Minangkabau. Ini yang membuat bahasa, bahkan dalam konteks kesusastraan, kian terpinggirkan,” katanya kepada Haluan, Jumat (29/10/2021).

Kendati demkian, ia menyebut, kemajuan teknologi informasi beberapa tahun belakangan bisa menjadi peluang untuk kembali menggeliatkan bahasa Minangkabau. Keberadaan para content creator berbahasa Minangkabau, yang belakangan kian menjamur, bisa menjadi katalisator untuk menggeliatkan kembali bahasa Minangkabau di tengah masyarakat.

“Di satu sisi, para content creator bisa berfungsi untuk menjaga ketahanan bahasa Minangkabau itu sendiri. Tapi di sisi lain, keberadaan para content creator ini juga bisa menjadi bumerang, karena tidak banyak yang menimbang dan menyeleksi penggunaan bahasa tersebut. Akibatnya bahasa Minangkabau pun bisa kehilangan kaidahnya sendiri,” katanya.

Kurang Promosi

Sementara itu, dari aspek sastra, Sastrawan dan Dramawan, S. Metron Masdison menyebut, kurangnya promosi menjadi penyebab utama kurang menggeliatnya sastra berbahasa Minangkabau, terutama sastra tulisan. Hal ini berbeda dengan sastra lisan. Geliat sastra Minangkabau berbentuk lisan sangat diakui eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.

Hal ini terbukti dengan banyaknya tradisi di Minangkabau yang menggunakan sastra lisan, misalnya dalam pidato pengangkatan datuak, randai, pepatah petitih dalam acara sakral, dan sebagainya. “Di daerah-daerah, malahan tradisi lisan kita sangat digencarkan penggunaannya. Dalam acara-acara penting, eksistensinya selalu terlihat,” ucapnya.

Metron menyebutkan, geliat sastra berbahasa Minangkabau berupa tulisan kurang terlihat eksistensinya. Ia menilai, salah satunya karena sastra Minangkabau berbentuk tulisan kurang mendapatkan ruang di media massa.

“Sastra berbahasa Minangkabau sebenarnya ada. Ada beberapa karya sastra berbahasa Minang yang terbit di pasaran dan bisa dibaca masyarakat luas. Tapi eksistensinya tidak sebaik sastra berbentuk lisan,” katanya.

Kurangnya promosi terhadap karya-karya baru, ujarnya, sangat disayangkan. Ia berharap akan ada wadah untuk publikasi karya berbahasa Minang yang tumbuh dan berkembang pada generasi muda.

Hal ini diamini Pengamat Sastra Universitas Negeri Padang (UNP), Yenni Hayati. Ia mengatakan, kehadiran teknologi dan media sosial (medos) menjadi wadah promosi bagi penggiat sastra Minangkabau. Keberadaan medsos dan media digital sangat mendukung untuk mempromosikan sastra Minangkabau, sehingga masyarakat luas lebih tahu.

“Misalnya melalui podcast di kanal YouTube. Generasi muda tampil dengan berdendang shalawat dulang. Seharusnya peran teknologi untuk sastra tulisan berbahasa Minang juga sama gencarnya dengan promosi tradisi lisan,” tuturnya.

Di sisi lain, Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan (Disbud) Sumatra Barat, Aprimas menyatakan, geliat kesusastraan Minangkabau justru bertumbuh dengan baik. Hal ini dilihat dari indikator kegiatan kesusastraan yang dilakukan oleh Disbud Sumbar.

“Saat ini kesusastraan Minangkabau bisa dibilang cukup menggeliat di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, setiap kali kami menggelar kegiatan kesusastraan, selalu banyak peminat yang antusias untuk ikut serta. Hasil karya yang dihasilkan pun bagus dan bisa diperhitungkan,” katanya.

Selain itu, ia juga menilik geliat sastra Miangkabau dari banyaknya pihak yang melakukan penelitian tentang sastra dan tradisi lisan yang sangat erat kaitannya dengan sastra Minangkabau.

“Di tingkat provinsi sendiri, anak muda kalau di bidang kesusastraan lebih cenderung pada tradisi lisan. Hal ini terlihat dari banyaknya generasi muda yang terlibat dalam berbagai kegiatan tradisi lisan, seperti pasambahan, pidato adat, dan sebagainya,” tuturnya.

Selain itu, upaya dalam melestarikan kesusastraan Minangkabau oleh Disbud Sumbar juga terlihat dari berbagai lokakarya dan rencana standarisasi bahasa Minangkabau dalam bentuk penulisan. Kemudian, dengan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki studi bidang sastra daerah.

“Terbaru, kami menggelar lokakarya tentang standarisasi penulisan bahasa daerah. Salah satu wujudnya adalah membuatkan kosa kata Minangkabau dalam bentuk Wikipedia. Namun, satu tahun terakhir proyek ini dikembalikan ke Dinas Pendidikan (Disdik) Sumbar yang punya kewenangan. Disbud sudah tidak punya kewenangan lagi di sana, makanya kami tidak tahu bagaimana perkembangan rencana tersebut,” katanya.

Aprimas menyampaikan, pihaknya selalu menggali dan menumbuhkan geliat kesusastraan Minangkabau ini dengan melakukan lomba penulisan berbahasa Minang, serta cerita berbahasa Minang yang dituliskan berdasarkan tambo dengan gaya kepenulisan masing-masing peserta. “Biasanya lomba ini diperuntukkan bagi anak muda atau pelajar. Bisa dalam bentuk lomba penulisan ataupun lomba bercerita,” ucapnya.

Lebih jauh, ia menambahkan, selama masa pandemi Covid-19, proses digitalisasi selalu digencarkan dalam setiap bidang, termasuk kesusastraan Minangkabau. Digitalisasi, ucapnya, sangat berperan dalam proses pengembangan publikasi kesusastraan Minangkabau. (*)

Jum/hantaran.co