Catatan: Zul Effendi
Topik kebebasan pers menjadi tema sentral selama kegiatan “Penyegaran dan Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers” di Banten, 19-21 Agustus 2021. Mulai dari Ketua Dewan Pers M Nuh, mantan Ketua MA Bagir Manan, Menko Polhukam Mahfud MD, Jaksa Agung Burhanuddin, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganroe, Guru Besar Pidana UMJ Syaiful Bakhri sampai Bambang Sadono, Wina Armada dan Herutjajo, memastikan bahwa kemerdekaan pers perlu dan wajib dilindungi.
Melindungi kemerdekaan pers berarti melindungi kepentingan masyarakat sekaligus melindungi demokrasi yang dibangun di negeri ini. Untuk itu, semua pihak, termasuk para penegak hukum tidak boleh mengusik apalagi melanggar kebebasan pers.
Melindungi kemerdekaan pers tentunya selaras dengan arah perlindungan hukum yang tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Peraturan Dewan Pers, Surat Edaran MA Nomor 13 Tahun 2008, Nota Kesepakatan Dewan Pers-Polri dan Kejaksaan Agung, atau yang terbaru SKB Menteri Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi beberapa pasal UU ITE.
Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, fungsi utama dan pertamanya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain (Pasal 15 ayat 2 huruf a UU Tentang Pers).
Terkait dengan fungsi utama melindungi kemerdekaan pers, Ketua Dewan Pers M Nuh mengingatkan para ahli pers dari berbagai provinsi di Indonesia yang dilatih dan ditunjuk oleh Dewan Pers, untuk menjadi mesin atau motor penggerak kemerdekaan pers di daerah masing-masing.
Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers juga menguatkan pesan yang disampaikan M Nuh. Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung itu, ahli pers tugasnya tidak hanya sekadar memberikan keterangan terkait perkara pers di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan saja, tapi lebih dari itu. Yakni membangun ruang dan atmosfir kemerdekaan pers di daerah dengan mengembangkan dialog seputar pers. Dengan semua pihak. Ya masyarakat, ya pejabat, ya juga penegak hukum. Termasuk dengan masyarakat pers sendiri.
“Khusus untuk teman-teman pers di daerah, kita perlu senantiasa mengingatkan betapa pentingnya menjalankan profesi kewartawanan sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Jangan pernah merasa capek, merasa lelah. Teruslah ingatkan agar para wartawan kita mengerti, memahami dan sungguh-sungguh menjalankan pekerjaan sesuai etik profesi,” kata Bagir.
Saya mencatat dengan huruf italic dan bold, sesungguhnya pers, media, wartawan yang tahu, mengerti, memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik dan UU Tentang Pers dalam pekerjaannya, berarti mereka telah melindungi kemerdekaan pers. Telah melindungi diri, perusahaan dan komunitasnya sendiri dari potensi yang mengancam kebebasan pers.
Bak cerita laga dalam dunia persilatan, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah jurus sakti yang bisa menangkal dan menepis berbagai serangan terhadap kemerdekaan pers. Jurus sakti ini, tentu tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme media dalam menjalankan tugas, fungsi dan perannya.
Lihatlah data pengaduan yang masuk ke Dewan Pers sepanjang 2020 lalu. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli menyebutkan ada 800 aduan yang masuk dan dominan terkait pemberitaan media online.
“Sebanyak 700 sampai 800 aduan per tahun 2020, perusahaan yang berbadan hukum itu 90-95 persen, isinya dominan adalah pelanggaran etik yang dilakukan media online,” kata Arif saat Seminar yang digelar Dewan Pers, pertengahan April 2021 lalu.
Mencermati tingginya angka pengaduan sepanjang 2020 itu, Ketua Dewan Pers M Nuh dalam “Catatan Akhir Tahun 2020 Dewan Pers, Kemerdekaan Pers dan Keberlanjutan Media” mendeteksi dua hal sekaligus. Pertama, adanya perkembangan positif, yakni semakin meningkatnya kepercayaan publik terhadap mekanisme penyelesaian kasus pers berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999. Kedua, tingginya angka pengaduan itu juga mencerminkan ada yang perlu diperbaiki dalam jurnalisme kita, yakni ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Mayoritas kasus pemberitaan pers yang ditangani Dewan Pers berakhir dengan kesimpulan bahwa “telah terjadi pelanggaran KEJ oleh media massa yang diadukan”. Baik pelanggaran KEJ yang serius maupun yang ringan,” kata M Nuh.
Menyikapi data dan fakta itu, Dewan Pers, ahli pers atau siapapun yang peduli dengan kemerdekaan pers, harus terus mengingatkan komunitas pers tentang pentingnya komitmen dan konsistensi menaati KEJ.
“KEJ bagaimana pun adalah tolak ukur utama profesionalisme dan kualitas pers. Ketaatan terhadap KEJ adalah faktor yang menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media massa,” ujar Ketua Dewan Pers.
Perlindungan Hukum
Dari sisi kekuasaan dan hukum, kemerdekaan pers mendapat jaminan dan perlindungan yang jauh lebih baik setelah era reformasi. UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers adalah ‘modal’ besar untuk membangun pers yang bebas dan sehat.
Menko Polhukam Mahfud MD menilai, kemerdekaan pers di era pasca reformasi memiliki landasan yang semakin kokoh dan kuat. Sebab, kekuasaan pemerintah sekarang hanya residu dari hak asasi dan demokrasi.
“Hak asasi diberikan semua, lalu pemerintah diberi sisanya, sedikit, untuk mengatur. Era ini menjadi tantangan baru bagi kemerdekaan pers tanah air,” kata Mahfud.
Dia menjelaskan di era sekarang, khususnya sesudah amandemen UUD 1945, kekuasaan pemerintah hanyalah merupakan residu dari hak asasi. Berbeda dengan dulu. Menurutnya, sebelum reformasi yang terjadi sebaliknya. Hak asasi merupakan residu dari pemerintah.
“Kalau dulu, wartawannya ditangkap, dulu ada istilah bredel, ada blackout. Itu dulu. Di zaman reformasi kita ubah, mengambil semua konvensi PBB tentang hak asasi,” kata Mahfud.
Dalam tatanan operasional, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Dr Andi Samsan Nganro, SH, MH yang tampil dengan materi “Arah Perlindungan Hukum Kemerdekaan Pers dan Pentingnya SEMA Nomor 13 Tahun 2008”, menguatkan landasan kebebasan pers.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008, intinya menyatakan,”…dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek…”.
“Dalam penanganan perkara yang terkait dengan pers dan bermuara ke MA, majelis selalu merujuk kepada SEMA ini. Contoh perkara yang dihadapi Bambang Harymurti, kasus perdata Tomy Winata vs Tempo, kasus pidana Erwin Armada dan kasus Rommy Fibry vs Kapolri. Umumnya, MA mengoreksi putusan di tingkat PN dan banding yang tidak memperhatikan hukum dan aturan tentang pers,” kata Andi.
Jaksa Agung Burhanuddin dalam pengantar materinya yang dibacakan Dr Arief Muliawan, SH, MH secara lugas juga menyatakan, secara hukum, kemerdekaan pers harus dilindungi. Itulah sebabnya, pihaknya setuju dan sepakat dengan Menteri Kominfo dan Kapolri menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 23 Juni 2021 yang berisi Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29 serta pasal 36 UU Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE).
Dalam SKB itu dijelaskan pers tidak lagi dapat dikenakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah oleh UU 19 Tahun 2016. Dalam pedoman implementasi huruf “l” terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE dijelaskan,”Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan oleh institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka akan tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat 3.”
“Lewat SKB ini pula diberikan landasan pers yang menyiarkan berita yang sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik tidak adapat dihukum,” kata Wina Armada Sukardi menjelaskan kepada peserta Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers.
Pakar pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Syaiful Bakhri, menyebutkan, ahli pers yang tampil memberikan keterangan di tingkat penyelididikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan sangat penting artinya untuk kemerdekaan pers. Apa gunanya?
“Sebagai karpet merah di pengadilan supaya hakim mendapatkan informasi yang jelas dan terang tentang perkara pers, sehingga bisa memutuskan secara adil dan benar. Di sinilah urgensi ahli pers dalam perkara yang menyangkut pers,” kata mantan Rektor UMJ dua periode ini. (bersambung)