Fokus

CATATAN PELATIHAN AHLI PERS DEWAN PERS (2), Demokrasi Semu dan Tantangan Pers Saat Ini

9
×

CATATAN PELATIHAN AHLI PERS DEWAN PERS (2), Demokrasi Semu dan Tantangan Pers Saat Ini

Sebarkan artikel ini
Dewan Pers
Peserta Pelatihan Ahli Pers bersama Wakil Ketua Dewan Pers Hendri CH Bangun dan Ketua Komisi Hukum Dewan Pers M Agung Dharmajaya.-dok.dp

Oleh: Zul Effendi

Dialog seputar demokrasi semu (pseudo democracy), peran dan tantangan pers saat ini, terjadi setelah Menko Polhukam Mahfud MD memaparkan materinya secara virtual di hadapan peserta “Penyegaran dan Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers” pada hari kedua, Jumat (20/8).

Adalah Ketua Dewan Pers M Nuh yang mengaku penasaran dan merasa khawatir betul dengan adanya demokrasi semu. Tiga dari empat pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif diduga memicu munculnya demokrasi semu karena adanya kongkalingkong, konspirasi antarpilar.

“Pada pilar eksekutif, legislatif muncul yes fenomena. Apapun yang disampaikan eksekutif, dijawab yes oleh legislatif. Karena apa, karena ada partai koalisi di situ. Partai koalisi yang sangat dominan, maka muncul yes fenomena. Fungsi kontrol hilang. Yang terjadi akhirnya pseudo democracy,” kata Nuh.

Deskripsi tentang demokrasi semu, secara menarik diungkap Hendri CH Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers dalam tulisannya “Tantangan Pers 2021”. Secara lugas Hendri menyatakan,”Kita sudah menyaksikan bagaimana pilar-pilar demokrasi saat ini hanya berstempel saja karena telah banyak berpaling pada kepentingan sendiri, kelompok, ataupun kepentingan uang.”

Di parlemen, pembentukan undang-undang, proses legislasi, kontrol atas eksekutif, tidak lagi murni untuk kepentingan orang banyak. Penyelenggaraan negara telah menjadi ajang berbagi kekuasaan para kelompok atau partai politik dengan kadar beragam dari pusat ke daerah. Tidak lagi fokus untuk kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat sebagaimana disebutkan dalam konstitusi. Sementara Dewi Keadilan dan kepentingan umum sering tidak lagi menjadi acuan dalam memutuskan berbagai perkara, tetapi menjadi alat mendapatkan uang atau tunduk pada kepentingan lain.

Lalu apa tanggapan Menko Polhukam tentang demokrasi semu ini? “Tentang pseudo democracy, nah itulah masalah kita semua,” ujar Mahfud. Seolah-olah demokrasi, tapi bukan. Misal untuk membuat kebijakan yang baik, tapi legislatif tidak setuju, lalu untuk mengegolkannya terjadilah transaksi. Tawar menawar untuk meloloskan pasal undang-undang. Pada pilar yudikatif juga ada yang rusak.  Pengadilan dengan dalih hakim punya kebebasan utuh, melahirkan putusan-putusan yang bertentangan dengan hati nurani publik. Ini juga bagian dari demokrasi semu.

“Mudah-mudahan sekarang tidak ada demokrasi semu. Nah, kalau ada, itu tugasnya Anda (Pers). Tugas pers untuk mengungkap dan meluruskannya. Pers yang harus bicara, membuka,” kata Mahfud.

Untuk membangun dan memperbaiki kualitas demokrasi, baik Nuh maupun Mahfud, menaruh harapan kepada pilar keempat, yakni pers. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pers masih bisa diharapkan sepanjang tidak terkena konspirasi antarpilar.

Banyak harapan memang tertumpang kepada pers. Mengutip Hendri CH Bangun dalam “Tantangan Pers 2021” ,”Dalam kondisi ini, pers betul-betul diharapkan menjadi pilar keempat dari sistem demokrasi yang kita anut, yang kritis terhadap semua jenis kekuasaan karena dia bekerja sebagai alat kontrol. Kalau dia lemah, akan semakin semena-menalah penyelewengan yang kita saksikan terjadi saban hari.”

Tantangan Pers Hari Ini

Secara implisit, peranan pers tercantum pada Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, antara lain memenuhi hak masyarakat untuk menegetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Peranan penting lainnya yaitu melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Tersebab penting dan mulianya tugas dan peran pers yang intinya mewakili kepentingan publik, maka Pasal 8 UU Tentang Pers memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan yang melaksanakan profesinya.

Catatan khusus dari program “Penyegaran dan Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers” , masyarakat pers menyadari, bahwa tidaklah mudah menjalankan tugas dan peran ideal pers seperti yang termaktub dalam Pasal 6 UU Tentang Pers.

Media konvensional atau mainstream media yang mendasari produk informasinya sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Tentang Pers, hari ini daya hidupnya tertekan, ada yang kritis dan bahkan tidak sedikit yang mati. Disrupsi digital dan dampak pandemi Covid-19, memukul telak daya hidup hampir semua sektor kehidupan. Tak terkecuali media arus utama, lebih khusus lagi media cetak. Pendapatan dari penjualan koran dan iklan, kian mengecil. Sementara biaya produksi, terus melejit.

Menghadapi disrupsi digital dan pendemi, media dituntut beradaptasi, bertransformasi, kreatif dan inovatif, jika mau bertahan hidup. Namun, dalam praktiknya untuk menjaga keberlanjutan media standar hari ini: adaptasi, transformasi, kreatif dan inovatif itu, tidak semudah membaca mantra yang begitu diucapkan lalu muncul hasilnya.

Adaptasi dan transformasi, butuh biaya yang tidak kecil untuk membangun infrastruktur digitalnya. Perlu  sumber daya manusia yang baik, kompeten, trampil dan tangguh secara mental.  Hanya perusahaan-perusahaan besar,  konglomerasi media yang jumlahnya sepenghitungan jari yang bisa bertahan dan bahkan terus membesar. Sementara pers kecil, umumnya yang ada di daerah, semakin terdesak dan tertekan daya hidupnya.

Lalu, bagaimana mungkin media konvensional bisa menjalankan perannya seperti yang diharapkan banyak kalangan itu? Jangankan untuk meningkatkan kualitas produk jurnalistiknya, mempertahankan daya hidupnya saja, media-media daerah sudah ngos-ngosan. Ini, bisa berbahaya! Jika tidak tahan diri, media mainstream yang lemah ini bisa terperosok kepada konspirasi antarpilar. Berkolusi dengan eksekutif, legislatif atau yudikatif. Akibatnya, kualitas media akan anjlok.

Menurut Hendri CH Bangun, merosotnya kualitas media massa akan membuat tugasnya untuk mengawal demokrasi semakin sulit. Bagaimana mungkin media dapat dipercaya untuk membela kebenaran, mengedepankan kepentingan publik, menjadi medium untuk mempertemukan, membahas, dan mencari solusi persoalan bangsa apabila dia sendiri tidak kredibel, tidak akuntabel dan tidak dikelola dengan baik.

“Bila tidak diasuh oleh wartawan yang telah teruji tahan godaan, taat mengawal kode etik, bersikap kritis terhadap kekuasaan, berfikir dan bertindak independen, sebuah media hanya menjadi pabrik informasi belaka, yang bahkan saat ini dan ke depan dapat dilakukan mesin,” kata Hendri.

Ketika mendapat kesempatan berdialog dengan Menko Polhukam pada sesi “Pelatihan Ahli Pers Dewan Pers”, saya menyampaikan aspirasi, harapan dan usulan, agar pemerintah, berempati dan hadir untuk ikut menguatkan daya hidup media konvensional hari ini.

“Untuk jangka menengah dan panjang, kami mengusulkan agar ada regulasi dan aturan yang bisa melindungi daya hidup media konvensional dan media-media daerah dari dominasi news media, media baru berbasis platform digital, termasuk penyedia jaringan yang umumnya adalah perusahaan asing.”

Untuk jangka pendek, usulan yang saya sampaikan kepada Menko Polhukam terkait kepastian insentif  untuk media konvensional yang sudah sering kali diungkapkan pemerintah; yakni subsidi pajak kertas, subsidi listrik dan iyuran BPJS.

“Kami sudah sering mendengar insentif ini, insentif itu untuk media. Namun implementasinya di daerah, tidak bisa dijalankan. Mohon Pak Mahfud, jika memang ada, dibuatkan aturan turunan atau juknisnya,” demikian saya sampaikan.

Usulan terkait ekonomi media ini, sebelumnya juga disampaikan Ahli Pers dan mantan anggota Dewan Pers Imam Wahyudi. Menurutnya, perlu didorong lahirnya bisnis model untuk media konvensional yang tengah menghadapi disrupsi. Bekerja sama dengan perguruan tinggi, didukung oleh pemerintah dan melibatkan media-media standar yang ada.

“Saya ini pernah jadi wartawan dulunya. Saya merasakan tantangan media hari ini. Dulu bersama Dewan Pers, kami juga sudah bahas masalah pers hari ini dengan Presiden. Presiden setuju dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya itulah subsidi untuk media mainstream. Tapi, jika belum bisa terlaksana, terutama di daerah-daerah, nanti saya akan tindaklanjuti. Terima kasih telah diingatkan, memang sebuah kebijakan harus ada aturan turunannya atau juknisnya,” kata Menko Polhukam. (bersambung)