PADANG, hantaran.co — Hari Kemerdekaan Republik Indonesia semestinya diperingati bukan dengan indahnya kembang api atau acara yang megah, nelainkan dengan merenungi dan mengingat kembali tujuan berdirinya bangsa ini. Hal itulah yang harusnya menjadi pendorong membangun Indonesia di masa depan.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII), KH Chriswanto Santoso. Ia menyebutkan, para pendiri bangsa telah menetapkan tujuan berdirinya bangsa dan negara ini dengan sangat elok dalam pembukaan UUD 1945.
Siapa pun eksekutif pelaksana pemerintahan, pembukaan UUD 1945 menjadi acuannya. Menurutnya, kondisi dunia yang sedang prihatin akibat pandemi Covid-19 memberikan hikmah agar rakyat Indonesia saling bergotong royong serta menyedekahkan harta dan tenaga yang dimiliki dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Musuh kebangsaan itu muncul untuk merusak persatuan dan kesatuan, berupa hoaks yang bertebaran di media sosial. Hal itu bisa merusak pengikat kita sebagai bangsa yang terdiri dari beragam ras, suku, dan agama. Harus selalu kita ingat bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang satu, bahwa Indonesia dibentuk dan lahir dari perbedaan yang ada,” ujarnya dalam webinar kebangsaan bertajuk “Peran Ormas Islam Membumikan Pancasila” yang digelar DPP LDII secara daring, Minggu (15/8/2021).
Menghadapi pandemi, Chriswanto menegaskan bahwa tugas sebagai warga negara bukanlah mengeluh terhadap apa yang diberikan Allah, melainkan berikhtiar, mengatasi bersama-sama, dan kembali membangun perekonomian menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini juga sesuai dengan tema HUT RI Ke-76, “Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh”.
Bagi LDII, jika Indonesia guncang, maka umat Islam tidak bisa melaksanakan ibadah dan berdakwah dengan baik. “Mari kita mencintai Indonesia, membangun Indonesia, dan betul-betul kita ciptakan umat ini menjadi bangsa yang tangguh menghadapi cobaan ini,” kata Chriswanto.
Sementara itu, Ketua DPP LDII yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono mengatakan, gotong royong yang terkandung dalam pancasila adalah pertanda bangsa yang beradab.
“Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang beradab jika tidak memiliki kemanusiaan, kebersamaan, dan tidak memiliki kesadaran untuk bergotong royong. Bagaimana pun, Indonesia rapuh jika tanpa Pancasila,” katanya.
Singgih juga menjelaskan posisi strategis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pondasi, bukan sebagai “bingkai” dalam konstruksi keindonesiaan. Menurutnya, jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan bingkai atau wadah yang akan melahirkan agama tertentu, maka menurutnya ini akan menjadi bibit konflik yang berkepanjangan.
“Karena negara kita adalah negara yang plural, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan. Maka agama dijadikan sebagai pondasi, bukan sebagai wadah. Sementara, pembingkai konstruksi keindonesiaan dalam pancasila adalah sila Persatuan Indonesia atau sila ketiga,” ujarnya.
Sehingga rumusannya, apapun agama yang dipeluk yang sesuai dengan sila pertama, bermacam aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan berdasarkan sila kedua, berbagai bentuk demokrasi yang dijalankan sesuai sila keempat, serta model keadilan yang dibayangkan seperti apa yang dimaksud sila kelima. Poinnya adalah harus dalam bingkai Persatuan Indonesia.
Jika sila pertama dijadikan sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, maka sila kedua (kemanusiaan) dan sila keempat (demokrasi) dijadikan sebagai semangat serta cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Singgih membuat kristalisasi pandangan LDII terhadap pancasila, yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia tanpa pancasila akan rapuh. Pertama, Indonesia akan rapuh jika tidak punya pondasi religiusitas yang kuat, sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama.
Kedua, bangsa Indonesia akan tercerai berai jika tidak ada bingkai yang jelas, seperti yang dirumuskan dalam sila ketiga. Ketiga, bangsa Indonesia akan kehilangan arah, jika tidak mempunyai tujuan yang jelas, seperti yang dirumuskan di sila kelima.
Ketua DPW LDII Sumatra Barat, M. Ari Sultoni menyebutkan, kontribusi agama termasuk ormas Islam dalam bernegara sangat fundamental karena tidak saja meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, melainkan juga dalam pasal 29 UUD 1945.
“Negara kita juga punya undang-undang tentang pengadilan agama, pengelolaan zakat, wakaf, pesantren, haji, dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Ini semua menunjukkan bahwa kehidupan beragama menginspirasi kehidupan bernegara kita,” katanya.
Selain itu, ormas dan lembaga keagamaan Islam diharapkan dapat terus mendukung segala pelaksanaan program-program pemerintah, terutama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, sehat, sejahtera, dan hidup rukun.
Menyikapi pandemi Covid-19, peran ormas Islam khususnya LDII sangat strategis sebagai wujud internalisasi nilai-nilai kebangsaan. “Ormas Islam dapat membantu pemerintah menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan selama masa pandemi serta mengembangkan dakwah, modernasi beragama dengan mengedepankan toleransi, saling menghargai, saling menghormati, cinta tanah air, menghargai budaya dan tradisi, menghindari kekerasan, serta menghindari narasi kebencian serta hoaks,” katanya. (*)
hantaran.co