PADANG, hantaran.co — Aparat penegak hukum diminta untuk menggunakan Undang-undang Wabah Nomor 4 Tahun 1984 dalam memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Di sisi lain revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Adabtasi Kebiasaan Baru (AKB) sudah tengah dikaji oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Pakar Hukum Kesehatan Universitas Ekasakti, Firdaus Diezo menilai penerapan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam memberikan sanksi ke pelanggar prokes sudah tepat. Sebab, dalam 1,5 tahun menghadapi pandemi, pemerintah mengedepankan pendekatan persuasif yang belum cukup efektif dalam menekan laju penularan.
“Dengan kondisi seperti sekarang, Indonesia menjadi episentrum Covid-19 di Asia dan tingginya angka kematian, pendekatan persuasif tidak menyelesaikan akar masalah, yang terjadi malah sebaliknya,” kata Diezo.
Meskipun pasal yang terdapat di UU Wabah bersifat umum, akan tetapi, kata Diezo, regulasi tersebut dinilai lebih ampuh dan memberikan efek jera bagi masyarakat yang masih nekat melanggar prokes. Ia juga mendesak negara untuk punya aturan atau ketentuan yang lebih khusus dalam mengatasi persoalan ini.
“Di Sumbar sendiri kita mendukung Perda AKB Nomor 6 Tahun 2020 bisa segera rampung direvisi. Ini diperlukan karena sanksi yang diatur sebelumnya sangat ringan, sehingga tidak memberikan efek jera kepada masyarakat,” katanya.
Diezo menjelaskan konstitusi mengamanatkan ke pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab dalam pemenuhan hak kesehatan masyarakat. Mulai dari upaya promotif atau mempromosikan budaya kesehatan, kedua preventif atau pencegahan, lalu upaya kuratif pengobatan, upaya rehabilitatif, dan kemudian upaya pengobatan tradisional.
Selama ini, kata Diezo, pemerintah hanya memaksimalkan peran dari upaya kuratif, dengan konsekuensi memakan biaya lebih besar. Sebab, negara harus menanggung biaya untuk penanganan pasien yang terkena wabah.
“Upaya kuratif atau menunggu orang sakit untuk penanganan medis, kemudian membangun rumah sakit atau fasilitas kesehatan, lalu disiapkan dokter dan SDM, tentu untuk mempersiapkan ini akan butuh waktu dan memakan banyak anggaran,” katanya lagi.
Menurut Deizo, satu-satunya pilihan yang paling penting dalam penanganan wabah yaitu dengan mengedepankan upaya preventif atau mencegah masyarakat tidak tertular. Negara harus memastikan tidak ada orang yang dirawat akibat wabah.
“Berapa biaya yang ditanggung negara saat merawat pasien Covid-19, berapa cost yang harus dikeluarkan. Karena itu penting sekali untuk memberikan sanksi bagi orang yang membahayakan kesehatan orang lain,” katanya.
Perberat Sanksi
Terpisah, Kapolda Sumatra Barat Irjen Toni Harmanto menyatakan perlunya sanksi yang cukup tegas bagi para pelanggar prokes. Polda Sumbar pun juga telah meminta adanya revisi Perda AKB untuk memberatan sanksi terhadap pelanggar prokes, seperti sanksi kurungan penjara beberapa hari.
“Mungkin perlu diciptakan di sini, harus ada pemberatan sanksi. Maka dari itu usulan kami dalam masalah sanksi ini yang diajukan di revisi Perda. Pelanggar terhadap perda itu tidak hanya denda atau sanksi sosial tapi juga diikuti dengan sanksi kurungan. Satu hari atau dua hari dan seterusnya. Ada minimal dan maksimal,” katanya.
Menurut Toni, dengan adanya penerapan sanksi yang lebih ketat bisa berpengaruh pada psikologis masyarakat sehingga bisa menjadi efek jera ke depannya. Ia memisalkan kebijakan sanksi yang diberlakukan oleh Pemerintah Singapura yang cukup tegas kepada warganya yang tidak taat prokes.
“Singapura saja menetapkan bagi pelanggar prokes berupa tidak pakai masker, mereka denda sampai 1.500 dollar Singapura, atau sekitar Rp 800 juta. Sanksi pelanggaran prokes itu membuat tingkat kesadaran masyarakat Singapura tinggi. Masyarakat di negara itu takut melakukan pelanggaran karena denda yang diterapkan cukup besar,” katanya.
Evaluasi Kemenkumham
Sementara itu, Ketua DPRD Sumbar, Supardi menyampaikan bahwa revisi Perda AKB masih dalam tahap pembahasan di pemerintah provinsi dan belum masuk ke legislatif. Saat ini katanya, revisi Perda AKB sedang dievaluasi Kemenkumham Provinsi Sumatera Barat.
“Revisi Perda AKB sempat menjadi pembahasan yang cukup lama di tim internal provinsi. Maka dari itu, kita tetap gunakan Perda yang saat ini, jika nantinya setelah kita evaluasi masih banyak kekurangan. Maka akan kita pertimbangkan untuk menggunakan UU Wabah dalam penanganan ini,” katanya lagi.
Supari menyebutkan, penanganan Covid-19 di Sumbar harus melibatkan seluruh pihak dan besinergi. Mulai dari penanganan di hulu harus diperkuat pada fasilitas dan kapasitas rumah sakit, termasuk juga pada ketersediaan oksigen dan tenaga kesehatan.
“Ada hal yang harus kita perbaiki. Dan yang paling penting adalah penanganan di hulu salah satunya ketersediaan oksigen. Ketersediaan oksigen tinggal kita dalam hitungan jam. Artinya enam jam ke depan tidak bisa kita pastikan oksigen kita msih tersedia,” katanya. Selain itu, sambung Supardi, penanganan covid-19 ini tidak lepas dari pemulihan ekonomi, sehingga, semua pihak harus bersinergi dalam mematuhi prokes terutama saat penerapan PPKM. (*)
Riga/Darwina/hantaran.co