PADANG, hantaran.co — Dewan Pers menyoroti potensi kesalahan informasi (misinformasi) dan penyebaran informasi yang salah (disinformasi) terkait Covid-19 di Indonesia. Namun, survei Dewan Pers bersama Universitas Multimedia Nasional menunjukkan berubahnya perilaku masyarakat akibat pemberitaan, termasuk dalam penerapan protokol kesehatan (prokes)
Ketua Dewan Pers Muhamad Nuh menyebutkan, semenjak pandemi Covid-19 melanda Maret tahun lalu, telah berdampak pada meningkatnya keinginan publik untuk mencari informasi terutama yang berkaitan dengan virus corona. Namun, hal ini juga disertai dengan penyebaran informasi-informasi yang keliru.
“Distribusi informasi turut terdistorsi karena misinformasi yang ikut menyebar melalui berbagai media komunikasi digital. Tren menyebarnya misinformasi dan disinformasi juga terjadi di Indonesia,” ujar Nuh dalam konfrensi pers daring, Jumat (30/7/2021).
Padahal, kata Nuh, hasil sejumlah penelitian menyebutkan adanya peningkatan konsumsi publik terhadap berita dari media konvensional pada awal pandemi. Seperti, temuan Digital News Report 2020 yang dirilis oleh Reuters Institute yang mengidentifikasi peningkatan konsumsi berita di beberapa platform.
“Laporan terbaru yang dirilis tahun 2021 menunjukkan kecenderungan yang sama, dan secara khusus menyebut peningkatan konsumsi berita lewat media sosial (medsos), terutama di kelompok usia muda dan berpendidikan rendah,” katanya lagi.
Mantan Menteri Pendidikan itu menyerukan, agar semua pihak untuk bahu-membahu melawan pandemi Covid-19. Imbauan itu juga ditujukan pada insan pers dengan menyuarakan partisipasi publik dalam melawan pandemi. Menurutnya, pers sangat memiliki peran yang cukup besar dalam kondisi penanganan pandemi saat ini.
“Saatnya kita all-out melawan Covid-19. Mari kita dorong publik untuk memanfaatkan impact dari kekuatan dunia pers dalam melawan pandemi Covid-19,” katanya.
Publik Percaya Pers
Sementara itu, Akademisi dan peniliti dari Universitas Multimedia Nusantara Albertus Magnus Presitanta menyebutkan, dari survei yang dia lakukan bersama Dewan Pers menunjukkan bahwa publik menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap pemberitaan Covid-19 yang dihadirkan media mainstream
“Dari survei yang dilakukan, menujukan bahwa media nasional menjadi rujukan utama publik tentang Covid-19. Ini menunjukan tingkat kepercayaan publik terhadap pers tinggi,” katanya
Selain itu, Albertus menambahkan, berbagai pemberitaan di media memberikan dampak yang cukup baik pada kebiasaan masyarakat, di mana sebanyak 58,7 persen responden mengaku merasakan adaptasi perubahan perilaku karena media konsisten menyajikan pemberitaan tersebut.
Menurutnya, pemberitaan memiliki dampak positif terhadap perubahan perilaku responden, yang mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat dan higienis. Responden juga mengadopsi teknologi digital dalam aktivitas sehari-hari untuk mencegah kontak langsung dengan banyak orang.
Selanjutnya, sebanyak 50 persen responden menyetujui bahwa media memberikan informasi terbaru tentang Covid-19. Sementara 45 persen responden juga menyatakan bahwa media telah melaksanakan tugasnya dengan baik untuk melakukan edukasi kepada publik tentang Covid-19.
Namun demikian, kata Albertus, terdapat sejumlah catatan penting yang menjadi harapan masyarakat. Pertama, sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka mengharapkan pemberitaan Covid-19 dengan tone positif untuk menumbuhkan perasaan optimistis. Sebab publik letih terhadap pemberitaan yang ada.
“Publik mengharapkan adanya informasi positif, yang menceritakan tentang Covid-19 dan vaksinasi khususnya di daerah. Media diharapkan lebih banyak menceritakan kasus-kasus di daerah dengan data yang akurat, trasnparan, terbuka, serta bisa diakses oleh masyarakat,” ujarnya lagi.
Di sisi lain, sambung Albertus, media sosial masih menjadi medium yang populer di antara responden, terutama responden di kelompok usia muda (Generasi Z), baik sebagai rujukan pertama untuk mendapatkan informasi tentang Covid-19 maupun sebagai rujukan untuk mencari informasi tambahan.
“Meskipun asumsi ideal beranggapan bahwa responden akan lebih banyak merujuk pada sumber primer atau media massa konvensional untuk memverifikasi informasi, namun temuan survei ini tidak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa literasi media di kalangan responden belum cukup baik,” ujarnya. (*)
Riga/hantaran.co