Sumbar

Perlu Seirama Menangkal Prostitusi dan LGBT di Sumbar

10
×

Perlu Seirama Menangkal Prostitusi dan LGBT di Sumbar

Sebarkan artikel ini
Sumbar
Ilustrasi Prostitusi

PADANG, hantaran.co — Kasus dugaan penyimpangan seksual sekaligus prostitusi dalam jaringan (daring) yang melibatkan pemuda berinisial HN (28) dan A (15) yang tengah ditangani Polresta Padang, dinilai sebagai dampak tak kunjung tegasnya sikap pemerintah daerah (Pemda) di Sumbar. Selain itu, pemangku kepentingan dinilai belum satu persepsi untuk mengatasi persoalan tersebut.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar), Gusrizal Gazahar, menyebutkan, kembali terungkapnya kasus prostitusi daring yang bahkan melibatkan penyuka sesama jenis dan anak di bawah umur, belum dipandangan dalam pendekatan yang sama. Sehingga, Aparat Penegak Hukum (APH) juga tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam pengusutan kasus.

“Dua tahun lalu, kami bersama gubernur, Dinas Kebudayaan, dan APH sudah mengadakan rapat untuk mencari solusi atas kasus-kasus seperti ini. APH di Sumbar saat itu mengatakan, mereka tidak punya landasan hukum untuk menjerat kelompok-kelompok seperti ini,” kata Gusrizal kepada Haluan, Kamis (22/7/2021).

MUI Sumbar, sambungnya, saat itu sudah mengusulkan agar pemerintah menerbitkan aturan yang berbasis kearifan lokal lewat Peraturan Nagari (Pernag) Syarak Mangato-Adat Mamakai. Namun, usulan itu hingga hari ini belum terwujud dalam bentuk regulasi karena dalih pandemi Covid-19 dan alasan-alasan klasik lainnya.

“Saat itu bahkan ditunjuk 18 nagari yang akan dijadikan percontohan. Namun, itu belum bisa berjalan karena alasan pandemi. Padahal lewat aturan ini, diiharapkan pembinaan dan bimbingan di tingkat nagari bisa dilakukan untuk mengantisipasi potensi terjadinya perilaku menyimpang di kalangan anak dan remaja,” katanya lagi.

Selain itu, Gusrizal menambahkan, belum samanya persepsi antar pemangku kepentingan dalam menyikapi fenomena perilaku seks menyimpang seperti Lesbians, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), juga menjadi penghambat dalam upaya pemberantasan. Menurutnya, secara agama dan adat di Sumbar, tidak ada toleransi terhadap perilaku tersebut.

“Kita tidak boleh bertikai dalam memandangnya. Nantilah bicara soal punishment, kita samakan saja dulu persepsi dalam memandang fenomena ini sebagai perbuatan dilarang dan melanggar syarak dan adat. Sebab, banyak pihak yang masih permisif dengan persoalan ini,” katanya lagi.

Sependapat, Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal atau Mak Katik menilai, kepala daerah bersama unsur pemangku kepentingan lainnya harus memiliki sikap dan kebijakan yang sama dalam menyikapi kasus LGBT. Sebab, kasus penyimpangan seksual seperti ini masih terus ditemukan.

“Kasus ini sudah terjadi berulang kali di Sumbar, tapi karena masih ada beberapa kepala daerah yang tidak memprioritaskan persoalan ini, maka kasus seperti ini masih kerap ditemukan. Di samping itu, banyak yang menyangkal bahwa fenomena ini betul-betul ada di Sumbar,” katanya kepada Haluan.

Mak Katik menambahkan, kasus penyimpangan seksual seperti LGBT adalah realitas sosial yang sudah lama terjadi, di mana para pelakunya kerap bersembunyi karena mendapat stigma penyakit masyarakat (pekat) sehingga harus “dibuang” secara sosial. Padahal seharusnya, para pelaku ini dapat disadarkan dengan pendekatan yang humanis dan bersifat rehabilitatif.

“Jangan ada lagi yang menyangkal fenomena ini benar dan nyata ada di Sumbar. Ini adalah realitas dan sudah lama terjadi,” katanya menutup.

Asal Serius, Bisa Diungkap

Sementara itu, Sosiolog UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik menyebutkan, fenomena penyimpangan seksual seperti LGBTQ yang berhasil diamankan oleh Polresta Padang pada Selasa 20 Juli 2021 lalu, adalah fenomena gunung es. Artinya, masih banyak para pelaku serupa yang tidak terungkap.

“Jika aparat serius, jaringan ini bisa dibongkar. Di media sosial bisa ditemukan dengan mudah jaringan prostitusi kaum LGBT ini,” kata Taufik kepada Haluan, Kamis (22/7).

Fenomena seperti ini, kata Taufik lagi, tidak dihambat oleh batas agama, adat, dan lainnya. Sebab, kejadian serupa juga bisa ditemukan di daerah-daerah lain. Bahkan di Arab Saudi sekalipun. Sebab, fenomena penyimpangan ini telah muncul sejak awal peradaban manusia.

Namun di sisi lain, Taufik mengatakan bahwa kelompok ini tak seharusnya mengalami diskriminasi, justru sebaiknya dapat dirangkul, dibina, dan diperlakukan secara manusiawi. “Dalam konteks kemanusiaan, mereka harus dirangkul dan diajak berdialog. Stigmatisasi mereka sebagai penyakit masyarakat juga berpengaruh dalam pengungkapan jaringan ini,” katanya lagi.

Taufik mengatakan, banyak metode yang lebih humanis dalam memperlakukan kelompok ini. Sebab, keterbukaan kelompok ini menjadi sangat penting untuk menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Terlebih, persentase kasus HIV-AIDS di Sumbar, terutama di Kota Padang, termasuk tinggi secara nasional, yang sebagian besar diidap para pelaku LGBT. (*)

Riga/hantaran.co