Cenderung stagnan, terlihat dari minimnya kemunculan pengarang baru dalam sastra Minangkabau. Memang ada lomba-lomba penulisan karya berbahasa Minangkabau yang digelar. Tetapi hasilnya tidak dibukukan. Kalau pun dibukukan, tidak banyak beredar di tengah masyarakat.
YENNI HAYATI
Pengamat Sastra UNP
PADANG, hantaran.co — Perkembangan zaman dinilai tidak hanya membawa kemajuan teknologi, tetapi juga ikut menggerus nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Untuk itu, pelestarian nilai-nilai budaya, seperti kesusastraan Minangkabau, menjadi amat penting. Namun, tanpa ikut merangkul kemajuan teknologi informasi, upaya pelestarian tersebut dipercaya tidak akan berjalan maksimal.
Kepala Bidang Warisan Budaya Dinas Kebudayaan (Disbud) Sumatra Barat, Aprimas, menyatakan, geliat kesusastraan Minangkabau bertumbuh dengan baik. Hal ini dilihat dari indikator kegiatan kesusastraan yang dilakukan oleh Disbud Sumbar.
“Saat ini kesusastraan Minangkabau bisa dibilang cukup menggeliat di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, setiap kali kami menggelar kegiatan kesusastraan, selalu banyak peminat yang antusias untuk ikut serta. Hasil karya yang dihasilkan pun bagus dan bisa diperhitungkan,” katanya kepada Haluan, Jumat (25/6/2021).
Selain itu, ia juga menilik geliat sastra Miangkabau dari banyaknya pihak yang melakukan penelitian tentang sastra dan tradisi lisan yang sangat erat kaitannya dengan sastra Minangkabau.
“Di tingkat provinsi sendiri, anak muda kalau di bidang kesusastraan lebih cenderung pada tradisi lisan. Hal ini terlihat dari banyaknya generasi muda yang terlibat dalam berbagai kegiatan tradisi lisan, seperti pasambahan, pidato adat, dan sebagainya,” tuturnya.
Selain itu, upaya dalam melestarikan kesusastraan Minangkabau oleh Disbud Sumbar juga terlihat dari berbagai workshop dan rencana standarisasi bahasa Minangkabau dalam bentuk penulisan. Kemudian, dengan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki studi bidang sastra daerah.
“Terbaru, kami menggelar workshop tentang standarisasi penulisan bahasa daerah. Salah satu wujudnya adalah membuatkan kosa kata Minangkabau dalam bentuk Wikipedia. Namun, satu tahun terakhir proyek ini dikembalikan ke Dinas Pendidikan (Disdik) Sumbar yang punya kewenangan. Disbud sudah tidak punya kewenangan lagi di sana, makanya kami tidak tahu bagaimana perkembangan rencana tersebut,” katanya.
Aprimas menyampaikan, pihaknya selalu menggali dan menumbuhkan geliat kesusastraan Minangkabau ini dengan melakukan lomba penulisan berbahasa Minang, serta cerita berbahasa Minang yang dituliskan berdasarkan tambo dengan gaya kepenulisan masing-masing peserta. “Biasanya lomba ini diperuntukkan bagi anak muda atau pelajar. Bisa dalam bentuk lomba penulisan ataupun lomba bercerita,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menambahkan, selama masa pandemi Covid-19, proses digitalisasi selalu digencarkan dalam setiap bidang, termasuk kesusastraan Minangkabau. Digitalisasi, ucapnya, sangat berperan dalam proses pengembangan publikasi kesusastraan Minangkabau.
Hal senada juga disampaikan pegiat sastra dan literasi, Epi Asmanto. Ia menuturkan, pelestarian sastra Minangkabau jika tidak dikolaborasikan dengan berbagai inovasi dan teknologi, maka akan ketinggalan zaman.
Ia mengatakan, agar tidak ditinggalkan generasi muda, butuh upaya untuk terus melestarikan sastra Minangkabau. Penulis buku Kusebut Mereka Serdadu Bintang itu menyebut, butuh dukungan dari semua pihak, termasuk keluarga sebagai lini terkecil interaksi sosial manusia, untuk melestarikan sastra daerah.
“Apabila semua pihak, baik pemerintah, organisasi masyarakat, instansi, tokoh masyarakat, serta pemangku kebijakan terkait bergerak, maka akan lahir gerakan untuk melestarikan sastra Minangkabau,” ujarnya.
Menurutnya, upaya pelestarian sastra Minangkabau butuh proses keberlanjutan dan kesinambungan. Selain itu, perlu beberapa hal untuk dievaluasi terkait efektivitas program atau inovasi-inovasi baru. “Seperti pemanfaatan dan kolaborasi program konvensional dan digital. Dikejar dari keluarga sebagai lingkup paling kecil,” ucapnya.
Epi yang biasa mengunjungi pelosok-pelosok Kota Padang itu mendukung gerakan 18-21 atau kembali ke meja makan sebagai wadah mendidik dan melestarikan sastra Minangkabau dan literasi daerah.
Cenderung Stagnan
Alih-alih menggeliat, Pengamat Sastra Universitas Negeri Padang (UNP), Yenni Hayati justru berpendapat bahwa perkembangan sastra berbahasa Minangkabau saat ini cenderung stagnan. Hal ini dilihat jarangnya muncul pengarang baru yang menerbitkan karya berupa tulisan berbahasa Minang.
Ia sangat menyayangkan hal ini, karena pada dasarnya banyak karya sastra berbahasa daerah akan mendapatkan penghargaan Rancage. Penghargaan Sastra Rancage sendiri merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Sastra Minangkabau, sayangnya, tidak memperlihatkan eksistensinya dalam ajang tersebut.
“Kemunculan pengarang baru dalam sastra Minangkabau tidak banyak. Padahal ada penghargaan khusus untuk pegiat sastra berbahasa daerah. Penghargaan Rancage itu tidak pernah didapatkan oleh sastra Minangkabau. Berbeda dengan Jawa, Bali, dan Sunda, sastra Miangkabau tidak terlalu bagus perkembangannya,” katanya.
Yenni Hayati membenarkan bahwa antusias generasi muda dalam sastra berbahasa Minang memang sangat bagus. Namun tidak terwadahi dengan baik. Hal ini dibuktikan dari tidak adanya karya berbentuk fisik yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat.
“Memang ada diwadahi perlombaan penulisan karya sastra berbahasa Minang. Sayangnya tidak pernah dibukukan karya generasi muda ini. Dinas Kebudayaan hanya mewadahi dan memenuhi kebutuhan lomba. Jika memang dibukukan, bukunya tidak ada ISBN. Artinya, tidak bisa dipasarkan untuk masyarakat umum. Mereka mengadakan lomba, tapi tidak ada tindak lanjut untuk karya dalam bentuk fisik,” katanya.
Ia menyayangkan hal ini, karena potensi generasi muda dalam menulis karya sastra berbahasa Minang sangat bagus. Seharusnya karya dari hasil lomba tersebut diterbitkan di perpustakaan wilayah atau daerah. Sehingga masyarakat bisa tahu bahwa eksistensi karya ini diperhitungkan, sehingga dipromosikan lebih gencar.
Lebih jauh, Yenni menyebutkan, hadirnya teknologi dan media sosial (medos) menjadi wadah promosi bagi penggiat sastra Minangkabau. Keberadaan medsos dan media digital sangat mendukung untuk mempromosikan sastra Minangkabau, sehingga masyarakat luas lebih tahu.
“Misalnya melalui podcast di kanal YouTube. Generasi muda tampil dengan berdendang shalawat dulang. Seharusnya peran teknologi untuk sastra tulisan berbahasa Minang juga sama gencarnya dengan promosi tradisi lisan,” tuturnya.
Kurangnya Promosi
Sastrawan dan Dramawan, S. Metron Masdison, kurangnya promosi menjadi penyebab utama kurang menggeliatnya sastra tulisan. Hal ini berbeda dengan sastra lisan.Geliat sastra Minangkabau berbentuk lisan sangat diakui eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini terbukti dengan banyaknya tradisi di Minangkabau yang menggunakan sastra lisan, misalnya dalam pidato pengangkatan datuak, randai, pepatah petitih dalam acara sakral, dan sebagainya. “Di daerah-daerah, malahan tradisi lisan kita sangat digencarkan penggunaannya. Dalam acara-acara penting, eksistensinya selalu terlihat,” ucapnya.
Metron menyebutkan, geliat sastra berbahasa Minangkabau berupa tulisan kurang terlihat eksistensinya. Ia menilai salah satunya karena sastra Minangkabau berbentuk tulisan kurang mendapatkan ruang di media massa.
“Sastra berbahasa Minangkabau sebenarnya ada. Ada beberapa karya sastra berbahasa Minang yang terbit di pasaran dan bisa dibaca masyarakat luas. Tapi eksistensinya tidak sebaik sastra berbentuk lisan,” katanya.
Kurangnya promosi terhadap karya-karya baru, ujarnya, sangat disayangkan. Ia berharap akan ada wadah untuk publikasi karya berbahasa Minang yang tumbuh dan berkembang pada generasi muda. (*)
Darwina/Yesi/hantaran.co