Ramadan

Praktek Takwa

9
×

Praktek Takwa

Sebarkan artikel ini
Duski
Prof. Duski Samad (Ketua MUI Kota Padang) IST

Oleh : Prof. Duski Samad (Ketua MUI Kota Padang)

Takwa adalah salah satu kata yang populer dan banyak disebut umat. Nilai, norma, aturan, penjelasan, dan kriteria takwa disebut dalam Al-Qur’an dan hadis pada banyak tempat dan masalah yang kedepankan.

Takwa memiliki barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas, sesuai dengan kadar kemampuan manusia, yang dengannya manusia terklasifikasikan menjadi orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi (al-Faaizuun wa al-Khaasiruun).

Kandungan makna takwa berkonotasi akan terealisasikannya semua syariat Islam dalam kehidupan seorang muslim. Ia merefleksikan sinegritas antara rasa takut, kepatuhan, dan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, yang membuahkan sebuah ketauhidan yang mutlak.

Takwa juga menjangkau aspek yang sangat luas meliputi Iman, Islam, dan Ihsan, yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an dengan beragam derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang mendalam terhadap tema takwa menjadi sangat penting mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global.

“Takwa” biasa dijelaskan sebagai sikap “takut kepada Allah” atau “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat” atau “sikap patuh memenuhi segala kewajiban serta menjauhi larangan Allah”. “Takut kepada Allah” mencakup segi positif “takwa”; sedangkan “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat” menggambarkan satu segi saja dari keseluruhan makna “takwa”. Sementara itu, “sikap patuh memenuhi segala kewajiban serta menjauhi larangan Allah” terdengar terlampau legalistik.

Muhammad Asad dalam The Message of The Qur’an menerjemahkan “takwa” sebagai Godconsiousness, “kesadaran ketuhanan”, yang dalam kitab suci diisyaratkan sebagai tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul, yaitu kesadaran Tuhan yang Maha Hadir (omnipresent) dan kesediaan menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah cahaya kesadaran itu (QS. Al-Baqarah: 115; al Hadid: 4).

Kesediaan menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah cahaya kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup itu berarti kesediaan menjalani hidup dengan standar akhlak yang setinggi-tingginya, yaitu amal saleh, tindakan-tindakan bermoral atau berperikemanusiaan (QS. An Nisa/4 : 131). Ada tiga ranah kehidupan penting diera global ini  yang mesti menjadi labor praktek takwa.

Pertama, gaya hidup atau life style. Esensi atau hakikat takwa adalah identitas yang dipraktekkan dalam prilaku akhlak mulia dalam semua ruang hidup. Rasul menjelaskan : Bertakwalah kepada Allah di mana dan kapan saja kalian berada. Ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.(HR Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Bazzar, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Kedua, norma bertransaksi, di mana kejujuran dalam usaha dan mendapat penghasilan dengan iadalah praktek takwa yang banyak diingatkan Al-Qur’an. Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!” (QS. Al-Muthaffifiin 83: Ayat 1).

Satu surat (83) dengan 38 Ayat Allah mengupas bahaya, akibat dan azab orang curang dalam usaha, transaksi dan ekonomi. Rentenir, fee, komisi, dan praktik bisnis curang dan menzalimi konsumen adalah virus takwa. Tinggalkan praktek curang, ganti dengan fainers dan saling menguntungkan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa’ 4: 29).

Ranah ketiga adalah ranah kesadaran hak kewajiban. Memberikan hak pada pemilik ada dua cara, pertama tidak memotong hak seseorang dan kedua tidak menimbulkan kesulitan baginya dan atau pihak lain. “Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi” (QS. Asy-Syu’ara’ 26: Ayat 183). (*)