PADANG, hantaran.co —Masalah stunting atau kondisi kekurangan gizi kronik yang mengakibatkan kekerdilan pada anak di Sumbar masih jadi pekerjaan rumah (PR) semua pihak. Meski persentase kasus stunting di Sumbar mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, penanganan dari hulu hingga ke hilir tetap perlu ditingkatkan.
Berdasarkan data BKKBN dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar, selama tiga tahun terakhir persentase stunting mengalami penurunan. Pada 2018 tercatat 29,9 persen, 2019 tercatat 27,47 persen, dan pada 2020 di mana penghitungan dilakukan via Aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), persentase kembali turun ke 14,30 persen.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumbar, Fatmawati, menjabarkan, faktor-faktor penyebab stunting yang disorot adalah pernikahan usia anak serta kejadian melahirkan pada usia anak.
“Sebab, organ reproduksi calon orang tua yang belum siap. Ditambah lagi pengetahuan yang minim tentang pola asuh dan kekurangan gizi, sehingga besar potensi terjadinya stunting pada anak,” kata Fatmawati kepada Haluan, Jumat (26/3).
Fatmawati menyebutkan, pencegahan stunting bisa dilakukan sejak anak berusia sembilan bulan dalam kandungan hingga lahir dan berumur 2 tahun. Menurutnya, kondisi stunting pada anak baru terlihat setelah sang anak berusia 2 tahun.
Fatmawati menambahkan, BKBBN terus mengampanyekan isu-isu terkait stunting, terutama kepada remaja agar memutuskan untuk menikah pada usia yang tepat. Menurutnya, dalam menekan angka stunting tersebut, harus dimulai sejak sisi hulu, yaitu saat remaja masih menjadi calon orang tua.
Fatmawati menyebutkan, BKKBN dalam program Generasi Berencana (Genre) terus mengampanyekan kepada calon orang tua agar melalui tahapan transisi dari fase remaja ke tahapan untuk berkeluarga.
“BKKBN terus menggalakkan pendewasaan usia perkawinan. Perempuan dianjurkan menikah di atas umur 21 tahun dan laki-laki di atas 25 tahun. Hal ini berguna untuk pendewasaan organ reproduksi calon orang tua agar siap melahirkan dan menghindari risiko kekurangan darah,” ucap Fatmawati.
Fatmawati mengatakan, salah satu upaya untuk menekan stunting adalah melakukan intervensi gizi sensitif yang bersifat jangka panjang dengan porsi 70 persen. Selain itu, katanya, BKKBN juga memiliki program Bina Keluarga Balita, yang memfasilitasi pasangan yang memiliki anak balita agar terhindar dari stunting dengan pola pengasuhan yang benar.
Selain itu, Fatmawati menyebutkan, penurunan prevalensi stunting bisa berhasil dengan sinergitas bersama antara lembaga dan instansi seperti seperti, BKB, PKK, tokoh agama, ibu hamil dan calon pengantin, serta remaja yang memasuki masa persiapan menjadi orang tua.
Sementara itu, Kepala Dinkes Sumbar, Arry, menyebutkan, penanganan kasus stunting di Sumbar memang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang disorot. Terutama di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini.
“Meskipun stunting saat ini dilimpahkan pengerjaannya ke Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tapi Dinkes Sumbar tetap memantau kasus stunting di Sumbar,” ujar Arry kepada Haluan, Jumat (26/3/2021).
Hasil pemantauan pada tahun 2020, katanya, terdapat satu daerah yang masih berada pada kategori sedang persentase kasus stunting dengan angka prevalensi 20-29,9 persen, yaitu Sijunjung. Sementara itu 18 kabupaten/kota lainnya, sudah berada pada kategori rendah persentase stunting dengan prevalensi di bawah 20 persen. Ada pun prevalensi stunting nasional masih berada pada posisi ke-115 dari 151 negara di dunia, dan posisi ke 8 dari 10 negara di Asean.
Angka Nasional
Berdasarkan temuan terbaru Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), terjadi penurunan prevalensi stunting di Indonesia dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019 atau turun sekitar 3,13 persen. Kasubdit Penanggulangan, Masalah Gizi, Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Inti Mudjiati menjelaskan, saat ini pravelensi stunting masih cukup tinggi sehingga penanggulangan masalah stunting tidak bisa diselesaikan dari sektor kesehatan saja, akan tetapi mesti multisektor.
Mudjiati menjelaskan, ada beberapa penyebab stunting masih terjadi hingga saat ini, termasuk pola asuh. Stunting juga tidak hanya rentan terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, tetapi stunting juga berpotensi terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi yang cukup baik.
“Banyak anak-anak dengan kondisi sosial ekonomi yang baik dari keluarga yang berpendidikan baik, tetapi pola asuhnya tidak baik. Anak yang dititipkan kepada pengasuh, tetapi tidak mempunyai pola pengasuhan yang baik, juga akan dapat meningkatkan risiko stunting. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan pemeriksaan kehamilan,” kata Mudjiati, seperti dikutip dari kemenpppa.go.id. (*)
Yesi/hantaran.co