Sumbar

3.772 Tanah Wakaf di Sumbar Telah Bersertifikat

5
×

3.772 Tanah Wakaf di Sumbar Telah Bersertifikat

Sebarkan artikel ini
Sumbar
Ilustrasi Tanah Wakaf

PADANG, hantaran.co — Dari 5.639 tanah wakaf di Sumbar, 3.772 di antaranya sudah memiliki sertifikat tanah wakaf. Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Sumatra Barat meminta pengelola dan pemilik tanah wakaf untuk segera mendaftarkan tanah wakaf untuk disertifikasi.

Kasi Pemberdayaan Zakat Kanwil Kemenag Sumbar, Muslimah Hikam, mengatakan, sertifikasi tanah wakaf merupakan upaya dari pemerintah untuk mengamankan aset wakaf di Indonesia. Terdapat dua aspek dalam pengamanan aset wakaf, yakni pengamanan dari aspek yuridis dan aspek fisik.

“Pengamanan yuridis itu dilakukan dengan cara sertifikasi. Kemenag serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) bekerja sama untuk memproses percepatan sertifikasi. Selain itu, juga ada kerja sama dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk percepatan sertifikasi,” kata Muslimah saat ditemui Haluan di ruang kerjanya, Kamis (15/7/2021).

Di Sumbar, kata Muslimah, saat ini tercatat ada 5.639 lokasi tanah wakaf dengan total luas 644,73 hektare. Hingga hari ini,  3.772 lokasi atau 404,43 hektare di antaranya sudah mengantongi sertifikat tanah wakaf.

“Tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat dari segi yuridis lemah. Jika tidak ada, tanah wakaf sangat mudah untuk digugat. Permasalahannya memang tidak timbul saat si wakif (pemberi wakaf) mewakafkan tanahnya. Tapi persoalan baru akan muncul di kemudian hari atau bertahun-tahun setelahnya,” katanya.

Muslimah menjelaskan, saat tanah wakaf itu sudah mempunyai nilai manfaat lebih, bisa saja ahli waris dari wakif menggugat nazhir (pengelola atau penerima wakaf). Hal inilah yang mesti diantisipasi.

“Persoalan seperti ini banyak sekali kami temui di Sumbar. Oleh karena itu, kami mendorong masyarakat untuk mengurus sertifikat tanah wakaf. Kami juga memberikan tanggung jawab kepada KUA untuk melakukan percepatan. Program ini sudah berlangsung sejak 2018 lalu, ditandai dengan Nota Kesepahaman antara Kemenag dengan Kementerian ATR/BPN,” katanya.

Salah satu contoh sengketa tanah wakaf yang ditemui pihaknya baru-baru ini terjadi di Kabupaten Agam, tepatnya di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Kapau. Tanah yang dimiliki oleh tiga suku itu sudah diikrarkan wakaf pada tahun 1921 dan diserahkan untuk pembangunan madrasah yang masih beroperasi hingga sekarang.

Penyerahan pertama dari pemilik ke MTI Kapau, katanya, dilakukan dengan akad secara lisan dan tidak dilakukan pencatatan. Persoalan mulai tampak saat MTI Kapau mengalami musibah terbakarnya asrama putra, yang terjadi tahun lalu.

“Setelah itu pihak yayasan mengumpulkan donasi dari berbagai pihak untuk pembangun kembali asrama. Saat akan dibangun, muncul keberatan oleh tiga niniak mamak dari tiga suku itu ahli waris wakif. Sebab, yayasan tidak punya surat untuk menunjukkan legalitas penggunaan tanah, sementara ahli waris wakif merasa bahwa tanah itu masih punya mereka, jadi tidak diizinkan untuk dilakukan pembangun. Akhirnya, pihak yayasan menghubungi Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mediasi,” katanya.

Sekretaris BWI Sumbar itu melakukan proses mediasi antara niniak mamak dengan yayasan. Dari dua kali pertemuan, akhirnya beberapa keinginan dari niniak mamak diakomodasi oleh yayasan dan kemudian kedua belah pihak sepakat untuk membuat sertifikat tanah wakaf.

“Itu adalah salah satu contoh betapa pentingnya sertifikat tanah wakaf. Kendala lain dalam percepatan adalah pemahaman masyarakat yang belum sepenuhnya merata. Masih banyak yang menganggap administrasi dan sertifikasi tanah wakaf itu tidak penting, cukup persetujuan secara lisan saja. Mereka menilai, jika sudah disertifikatkan, tanah itu akan diambil oleh pemerintah, atau bisa saja tanah itu digadaikan oleh nazhir ke bank. Itu pemahaman yang harus diluruskan, bahwa secara aturan keduanya itu tidak mungkin terjadi,” ujarnya.

Ia menyebutkan, pengurusan sertifikasi  merupakan tanggung jawab antara nazihr dan wakif. Kedua belah pihak mesti datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan mengucapkan akad wakaf di depan Kepala KUA yang sekaligus juga merupakan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

“Setelah akad berlangsung, PPAIW akan mengeluarkan blanko atau surat akta ikrar wakaf, sekaligus KUA juga mengeluarkan surat pengesahan nazhir. Kemudian nazhir akan diregistrasikan di BWI, sebab seluruh nazhir yang memegang atau mengelola tanah wakaf harus teregistrasi di BWI,” ucapnya.

 Di samping itu, nazhir bertugas melanjutkan pengurusan sertifikat ke Kantor ATR/BPN terdekat. Muslimah menjelaskan, harta benda wakaf mesti diserahkan di depan PPAIW dengan kehadiran kedua belah pihak dan tidak boleh diwakili. Setelah akad dilangsungkan, pengelolaan tanah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab nazhir.

“Si wakif ini tidak bisa tidak hadir. Selain itu, jika wakif tidak bisa menunjukkan akta kepemilikan tanah itu, PPAIW juga tidak bisa membuat blanko atau surat ikrar tanah wakaf. Jadi wakif juga harus membawa bukti bahwa tanah yang akan diwakafkan itu benar milik wakif dan di bawah penguasaannya,” katanya. (*)

Riga/hantaran.co